Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 12 November 2016

CERPEN ROSITI: DOSA SECANGKIR KOPI


Purnama menyapa dengan sempurna. Sinarnya yang perkasa, menyeruak menguasai setiap nestapa. Bersamaan dengan itu, aroma kopi terendus menguasai udara. Wanginya sangat khas, namun justru menyematkan luka  ....

Witri berbalik dari balik jendela tempatnya bersandar seiring resah yang kian menenggelamkan. Di kamar ini, kembali ia rasakan dosa dari secangkir kopi kendati sepasang mata cokelat di hadapannya, menyapa penuh cinta. Meski bukan untuk yang pertama dalam kebersamaan, namun tetap saja, secangkir kopi yang menebarkan aroma kuat membuatnya bak dililit dosa. Dosa secangkir kopi, batinnya terus bergumam.
Dulu, mungkin Witri hanya sekadar menjadi pendengar baik untuk setiap cerita yang dilantunkan oleh ayah mengenai dosa secangkir kopi. Dikata sang Ayah,  dari sekian kenikmatan sesaat setelah menikmati secangkir kopi yang akan membuat sang ayah terjaga sekaligus semangat kerja,  selain lambung dan ginjal menjadi mengalami gangguan lantaran sudah terlanjur tercandu kenikmatan kopi,  beliau juga pernah menjadi korban fitnah atas racikan secangkir kopinya.
Diceritakan,  saat itu, ayah Witri merupakan petani kopi di salah satu daerah yang ada di pedalaman Lampung. Di suatu kesempatan, sang ayah diminta untuk membuatkan secangkir kopi oleh salah satu teman sekaligus tetangga merantau saat di Lampung. Sayang, secangkir kopi racikan ayah Witri justru dibubuhi racun oleh temannya itu dan disuguhkan pada temannya yang satu lagi. Setelah diselidiki, ternyata teman ayahnya itu merasa kesal pada teman yang diracun. Pasalnya,  selain teman yang meminum kopi beracun tersebut kerap diam-diam mengambil kopi siap panen si teman yang membubuhi racun, si teman tersebut juga beberapa kali kepergok menggoda isteri si pembubuh racun, dan turut diketahui oleh khalayak termasuk ayah Witri. Meski tak separah ayah Witri yang harus masuk 'bui' demi mempertanggungjawabkan kekejian temannya, hingga  detik ini, masih ada dosa di secangkir kopi.  Dosa yang kerap kali tidak disadari oleh penikmatnya terlebih mereka yang sudah tidak bisa lepas dari kopi  ....
“Wah ... suasananya benar-benar romantis,” serunya di tengah senyum yang semakin buyar.
Witri terpaku setelah tertegun cukup lama mengenai sepenggal kisah dari dosa secangkir kopi. Namun kiranya ia juga tak kalah memiliki cerita dari sang ayah. Tentu berhubungan dengan rasa bersalah yang selalu merantai di setiap ia harus berhadapan dengan sang suami yang begitu mengayomi sekaligus rajin membuatkannya secangkir kopi.
* * *
Tiga tahun lalu, Witri tengah sibuk berkirim pesan via BBM dengan Santi, sepupunya.
Jangan buat calon suamimu tidak kenal keluarga kita. Masa iya sekadar dikenalin ke Mbak saja, enggak? Tulis Witri yang kembali menikmati nuansa kafe kunjungannya. Nuansa kafe yang baru ia temui di salah satu sudut ibukota. Kafe yang mendadak membuatnya berbunga-bunga atas pemandangan langka bertebar aroma wangi bunga alami yang disuguhkan. Karena tak sekadar asri atas sebaran bunga dalam pot yang menghiasi, tapi juga gaya kafe yang mengusung nuansa terbuka bak taman impian. Belum lagi alunan musik klasik yang disetel dengan volume lirih dan membuat nuansa semakin terasa manis sekaligus romantis.
Witri duduk sendirian. Menyanding beberapa tumpuk novel yang menemani laptop sambil menunggu kopi pesanannya datang. Menjadi seorang penulis lepas memang membuatnya harus pandai-pandai mengolah pikiran. Dan nuansa kafe yang membuatnya bak sedang piknik layaknya kini, juga langsung membuatnya menemukan inspirasi tulis.
Tunanganku super sibuk, Mbak. Sibuk nyiapin masa depan. Paling kapan-kapan kita kopdar sebelum aku nikah. Balas Santi.
Segera Witri membalas. Okey, deh. Kamu hati-hati yah. Kalau ada apa-apa, hubungi, Mbak. Sesaat setelah pesannya terkirim, Witri yang kembali mengangkat wajah dikagetkan atas siraman secangkir kopi. Kopi yang awalnya akan dihidangkan oleh seorang pelayan wanita, untuk Witri. Kala itu juga, Witri sudah meracau dalam hati bila keputusannya tetap menjadikan kopi sebagai minuman favorit bahkan teman setia, merupakan dosa besar layaknya apa yang menimpa sang ayah. Tangan kanan Witri yang tak memegang ponsel tersiram dan seketika memerah.
“Astaga, saya benar-benar minta maaf. Sungguh, saya benar-benar tidak sengaja.” Sergah seorang lelaki yang tak lain merupakan penyebab pelayan kehilangan kendali dalam kinerja hingga secangkir kopi pesanan Witri, menyiram tangan kanan Witri. Selain sibuk meminta maaf, lelaki bergaya dinas itu juga terlihat sangat sibuk menjawab setiap telepon yang menghampiri ponselnya. Terhitung, ada lebih dari 5 ponsel yang bunyi secara bersamaan dan terus berulang. Ada yang disimpan dalam saku celana, jas, kemeja, serta genggaman tangan hingga melihatnya saja membuat Witri tidak tega. Witri tahu betul, dikejar target pekerjaan dengan deretan jadwal yang sangat padat, sangatlah tidak nyaman bahkan membosankan. Ia pernah merasakannya kala ia dibanjiri job agar bisa mendapat pundi-pundi lebih untuk menebus ayahnya di penjara, justru menjadi dirujuk sekaligus menginap di rumah sakit karena memposir waktu.
“Tidak apa-apa, Mbak. Saya pesan kopinya satu lagi, saja...,” ujar Witri mencoba mencairkan keadaan. Pelayan perempuan yang melayaninya itu terlihat sangat ketakutan terlebih sang manager langsung turun tangan. “Nanti tetap dimasukan bon. Tidak ada yang salah, kok. Ini murni kecelakaan,” Witri masih bersikap sabar kendati tumpukan dahi yang nyaris membawa alisnya ikut serta, menorehkan tahanan rasa sakit akibat siraman kopi.
Seorang pelayan datang setengah berlari menghampiri sembari membawa obat anti melepuh setelah perintah sang manager. Dan demi menebus kesalahan, sosok lelaki yang menjadi penyebab skandal pun mengambil alih sembari terus meminta maaf di tengah ponselnya yang terus bunyi namun diabaikan.
“Nggak apa-apa, aku bisa sendiri, Mas ....”
Ada kesungkanan yang menjerat Witri. Terlebih, lelaki yang tetap ngotot mengobatinya itu terlihat sangat sibuk.
“Eh, Anda sudah membaca novel ‘Dosa Secangkir Kopi’, juga?”
“Oh ...?” kedua mata Witri terempas pada tumpukan novel yang ada di meja pesanannya. Novel paling atas bersampul hitam bertinta  warna emas itu menjadi sumber fokusnya bersama si lelaki.
Berawal dari insiden itulah, hubungan mereka terakit. Ternyata lelaki itu sangat menyukai novel ‘Dosa Secangkir Kopi’ yang merupakan salah satu karya Witri. Setelah meminta tanda tangan bahkan sampai foto bersama, lelaki yang bernama Abdi itu juga meminta bertukar nomer ponsel dengan Witri. Semakin lama hubungan mereka semakin dekat. Terlebih kesibukan Abdi sangat dimengerti oleh Witri yang juga kerap memberi masukan pada Abdi. Tak jarang, Abdi juga mengajak Witri untuk menemaninya menemui klien. Abdi merupakan pengusaha muda yang memiliki usaha di bidang kendaraan serta permesinan. Beberapa sorum motor, mobil, serta bengkelnya sudah tersebar di beberapa kota besar seluruh Indonesia.
“Sama halnya secangkir kopi yang membuatku jatuh hati dan senantiasa menemani. Sepertinya akan sangat bahagia bila selalu begini. Ada yang mengurus dan mengerti semua yang ada dalam hidupku,” ujar Abdi di suatu malam sembari menikmati secangkir kopi.
Witri hanya tersipu dan mengempaskan kedua matanya untuk menerawang gelapnya langit malam berhias gemerlap bintang. Kedunya memang tengah mengunjungi kafe tempat pertama mereka bertemu. Sembari terus menyesap lembut secangkir kopi yang masih dipenuhi kebulan asap, kedua mata Abdi terus terpaku mengamati wajah serta tingkah Witri. Ada gelisah yang tersimpan dari agenda remas tangan yang Witri simpan dalam pangkuan. Serta tatapan kedua mata Witri yang terlihat kosong.
“Ada masalah?” Abdi menyudahi sesapan kopinya dan meletakan cangkirnya pada meja.
Lamunan Witri seolah buyar. Hanya senyum masam yang terkesan sangat dipaksakan, dan ia suguhkan sebagai balasan. “Oh iya, kamis minggu depan aku akan pulang kampung. Sepupuku akan menikah, dan sebelum itu, aku akan bertemu dia dan calon suaminya beserta keluarga dari kampung. Mungkin selain paman dan bibi, kakek dan nenek juga akan ikut,”
Abdi mengernyit.
“Aku nggak minta kamu ikut,” sergah Witri cepat-cepat. Mereka memang sudah berpacaran tiga bulan terakhir. Tepat setelah dua bulan perkenalan. Witri tahu bila Abdi sangat sibuk hingga membuatnya tak meminta Abdi ikut serta. Witri teramat menyayangi Abdi. Begitu juga yang Witri yakini pada Abdi.
“Ya nggak bisa begitu ...,” Abdi menghela. Salah satu tangannya meraih sekaligus mengelus salah satu sisi wajah Witri yang turut ia elus beberapa kali. “Yang anak bibi kamu itu, bukan? Katanya kamu yang didesak menikah oleh keluarga. Kenapa enggak kita dulu yang menikah?” Tatapan Abdi teramat dalam sekaligus mematikan. Bagi Witri, itu bukanlah kekuatan, melainkan candu yang acap kali membuatnya takut layaknya secangkir kopi yang ia nikmati. Kendati kopi bisa membuatnya semangat,  namun kerap kali lambung dan ginjalnya seolah bermasalah. Terlepas dari itu, kenyataan juga menegaskan, bila ia dan Abdi belum memiliki ikatan resmi dalam hukum maupun agama. Kendati keduanya sama-sama berkomitmen untuk saling menjaga sekaligus memahami batas dalam status hubungan mereka, mereka tetap memiliki napsu. Bisa jadi,  nasib mereka juga tak beda dengan  secangkir kopi yang memiliki dosa. Dalam hati Witri juga membenarkan,  bila anggapan Abdi memang keputusan tepat.  Iya  ... Menikah adalah hal yang harus mereka lakukan dan memang sudah menjadi tujuan awal kebersamaan.
Ada debar kencang pada dada Witri yang turut ditemani serbuan panas dan mengunci relung kehidupannya. Sungguh, ia tak hanya 'kikuk', melainkan sangat gugup. Bahkan saking gugupnya, salah satu tangannya tak sengaja menyempar secangkir kopi miliknya yang memang sama sekali belum ia sentuh. Kenapa selalu mengalami insiden dalam secangkir kopi di setiap kebersamaan dengan Abdi? Apakah dosa secangkir kopi juga sudah menjerat hubungannya dengan Abdi? Mendadak Witri diterjang pemikiran buruk.
“Sayang, hati-hati ...,” Abdi membiarkan cangkir kopi Witri yang seketika pecah, begitu saja. Ia langsung menyeka tangan Witri yang lagi-lagi tersiram kendati kali ini tak begitu parah layaknya lima bulan lalu, saat awal pertemuan mereka.
* * *
“Bagaimana kabar suamimu? Kok kamu masih adem-ayem nggak ada perubahan? Memangnya suami dan mertua kamu nggak bosan? Aku saja sudah mau melahirkan anak kedua,” ucap Santi sinis sembari mengelus-elus perutnya yang buncit. Tak hanya kedua matanya yang terus bergerak liar dan hanya akan mendarat kilat pada wajah Witri. Melainkan, duduknya juga tidak bisa tenang, terus goyang.
Witri tersenyum kecil lalu meraih secangkir kopi yang masih menyisakan sedikit kebulan asap. Ia belum menjawab. Masih bergelagat santai sembari tersenyum mengamati sekitar.
“Suamiku sangat menyayangiku. Bahkan sesibuk-sibuknya dia, dia akan membantuku menjaga anak,” tambah Santi buru-buru, seolah takut kecolongan start pembicaraan.
Witri masih tersenyum. Kali ini ia mengangguk dan seolah mengiyakan cerita Santi agar sepupunya itu bisa sedikit tenang.
“Lantas, kenapa hanya diam? Mbak seolah ngejek,” Santi terlihat semakin kesal.
“Di mata Mbak, suami sekaligus mertua Mbak itu sempurna, San. Jadi tidak harus mengurai secara detail pada orang lain. Cukup Mbak dan suami Mbak yang menjalani saja. Karena setiap orang memang punya cerita,”
Santi bergegas bangkit dari tempat duduk. “Seolah-olah Mbak ini sengaja mengorek luka lama!” ia berlalu dengan kekesalan sembari terus memegangi perutnya yang sudah sangat besar. Kandungannya kini memang sudah memasuki bulan ke sembilan. Anak kedua layaknya apa yang baru dijabarkan dan lebih tepatnya dipamerkan.
Witri teramat muak dengan keadaan. Berulang kali ia menghela, menahan air mata sembari membuang wajah. Namun ia masih ingat betul akan janjinya pada sang suami, bila ia tak akan lagi menangisi hal yang tidak penting. Dia akan selalu menjadi wanita sekaligus isteri yang selalu bahagia, apapun keadaannya!
Sepanjang hari ini, Witri bak mayat hidup yang untuk sekadar mengedipkan mata saja terasa sangat sulit. Meski purnama tak menyapa nestapa layaknya malam-malam sebelumnya, namun dosa secangkir kopi kembali terasa. Sang suami kembali hadir menghidangkannya penuh cinta. Dari balik pintu kamar, ia terus menembakan binar bahagia. Witri yang tadinya tengah menyandar pada jendela untuk mengamati suasana luar, tersenyum dalam sambutannya. Kendati senyumnya teramat hambar, namun itu langsung berhasil menimbulkan debaran luar biasa bahkan tidak wajar bagi sang suami.
“Aku menyerah, Mas ...,” lirihnya pasrah. Matanya menunduk namun segera kembali terempas pada sang suami yang berhenti melangkah, menatapnya heran. “Mas menang ...,” ada binar bahagia dalam lanjutan Witri yang turut dibubuhi rintik air mata.
“Bukan sebuah aib bila seseorang pernah melakukan kekeliruan ataupun kesalahan, Tri. Kamu nggak salah, Mas yakin itu. Termasuk orangtua kamu!”
Kembali, sang suami seolah sudah mengerti mengenai apa yang tengah menjadi sumber kegelisahan hati sang isteri. Witri menghempaskan lirih wajahnya. Matanya yang kosong dikelibati bayangan hitam yang membuatnya teringat dengan kejadian di masa lalu.
Saat kopi darat bersama Santi dan calon suaminya, Witri yang ditemani Abdi benar-benar merasa tidak enak sekaligus tidak nyaman atas kelakuan kasar Santi yang terbilang keterlaluan. Bagi Witri, semenjak menetap di ibukota untuk kuliah sambil kerja, Santi memang sudah berubah dan acap kali menjaga jarak dengan warga kampung halaman tak terkecuali keluarga. Namun kala Santi mendapati Abdi yang kala itu memang tengah menyilakan uraian rambut Witri yang menutupi sebagian wajah ke belakang sebelum menyimpan wajah serta tubuh Witri dalam dekapan, Santi bak kesurupan bahkan kehabisan akal.
“Mbak! Tega-teganya Mbak begini ke aku!”
Semua mata penghuni restoran langsung terfokus pada Santi, Witri, beserta Abdi yang bergegas berdiri.
“Santi kamu kenapa?” Witri yang bingung mencoba bersikap tenang. Ia memutari punggung Abdi demi menghampiri sekaligus menenangkan Santi.
Bukannya menjelaskan, Santi justru mendaratkan tamparan panas pada salah satu pipi Witri hingga wajah Witri terempas. Tak sampai di situ, karena Santi juga menyiramkan secangkir kopi milik Abdi yang masih mengebulkan asap pada wajah Witri, yang baru kembali berbalik sembari memegangi bekas tamparan.
“Susah payah aku menghubungi calon suamiku sementara hari pernikahan semakin dekat! Jadi kamu penyebabnya?! Kamu wanita yang sudah mengalihkan dunia tunanganku?! Kamu wanita yang sudah merebut Abdi dari aku?!!”
Kepala Witri serasa retak bahkan nyaris meledak. Panas tamparan beserta siraman kopi yang jelas-jelas baru dihidangkan, tak lagi terasa. Belum lagi keberadaan paman dan bibinya yang turut datang bersama kakek dan nenek. Apa maksud Santi serta tatapan ngeri yang menghiasi mata nenek, kakek, terlebih paman dan bibi yang terarah tunggal padanya?
“Witri, apa-apaan, kamu?! Undangan pernikahan sudah disebar, semua keperluan sudah dipersiapkan, jadi tolong jangan bikin rusuh! Cari laki-laki lain jangan merebut calon suami adikmu! Sesusah itukah atau malah karena memang kamu tidak laku?!” bibi selaku ibu dari Santi, meledak-ledak melebihi Santi setelah Santi lari ke dalam pelukannya.
Witri terpekik bingung. Bahkan untuk sekadar melihat ekspresi Abdi yang hanya diam tidak ia lakukan. Ia telah menyimpulkan kalah berperang mempertahankan hubungan dengan Abdi. Abdi memang pernah bercerita, bila sebelum mengenal Witri, Abdi sempat memiliki pacar. Namun karena pacarnya itu terlalu mengatur dan banyak mau, Abdi memilih mudur. Selebihnya, Witri tidak pernah meminta Abdi untuk bercerita lantaran Witri percaya.
Kini, dalam pelukan Purnama suaminya, Witri terisak nelangsa. Purnama merupakan laki-laki pilihan kakaknya yang dijodohkan dengannya demi menghindari tuntutan keluarga terlebih Santi. Santi telah menikah dengan Abdi, namun pernikahan mereka sama sekali tidak harmonis lantaran sifat Santi yang sangat menuntut kesempurnaan. Terdengar, Abdi sudah berulang kali ingin menceraikan Santi. Sementara Witri dan Purnama yang menikah lebih awal justru kebalikannya, kendati hubungan mereka memang berlangsung biasa-biasa saja dan cenderung dipenuhi kesenjangan. Purnama tahu semuanya termasuk semua yang membuat Witri mengambil keputusan. Begitu pun sebaliknya. Karena Witri juga sadar bila lelaki yang dua tahun penuh memperisterinya itu juga bisa lelah layaknya apa yang membuatnya menyerah atas dusta dari cinta Abdi.
“Aku menyerah dan sepenuhnya sadar, bila Mas Purnama adalah laki-laki yang seharusnya aku ayomi sekaligus cintai,” Witri menatap kedua mata Purnama sangat lekat. Kehadiran Abdi memang membuat hidup Witri tak beda dengan sebuah drama romantis berujung tragis. Meski kehadiran Purnama justru membuat Witri membuka mata sekaligus hati, bila laki-laki yang begitu sabar dan selalu mempermudah kehidupannya itu merupakan sosok lelaki yang selama ini ia cari.
Butiran bening turut berseluncur dari kedua ujung mata Purnama. Lelaki yang hanya melihat Witri sebagai satu-satunya wanita yang dicintai itu seolah kehabisan kata-kata.
“Terimakasih karena telah membuatku menjadi wanita sekaligus isteri yang sangat dan paling bahagia,”
Kali ini Purnama sibuk mengangguk. Dekapannya terhadap tubuh Witri semakin erat. Malam ini, untuk pertama kali setelah kebersamaan dua tahun lebih bergulir, Witri isterinya mau ia sentuh bahkan memulai lebih dulu.
“Dari awal mendengar cerita tentangmu dari kakakmu, aku sudah menganggumimu. Sayangnya, selain tidak berani mengungkapkan, aku juga takut mematahkan deretan mimpimu. Terlebih saat aku mulai maju, kamu sedang bahagia-bahagianya dengan Abdi.”
Witri tersipu dan kembali menyandarkan wajah ke dalam dada bidang Purnama. Terdengar getar tanda panggilan masuk dari ponsel miliknya yang ia taruh di meja sebelah ranjang. Kebiasaan rutin Abdi memang masih berusaha menghubunginya kendati ia terus melakukan penghindaran. Mungkin itu juga penyebab kekesalan Santi yang menjadi semakin menjadi. Terlepas dari semua itu, kini Witri hanya akan membenahi sekaligus menata masa depan penuh kebahagiaan bersama Purnama—suaminya. Meski Abdi merupakan cinta pertama yang teramat sulit untuk dilupakan, namun pada kenyataannya, Purnama-lah sosok yang telah memberinya kebahagiaan sekaligus masa depan.
“Ini, nanti dingin. Tidak ada dosa pada secangkir kopi yang aku buat. Karena dalam kopi ini, terkandung banyak cinta sekaligus kasih sayang.”
Lagi-lagi Witri tersipu.
***

  
Biodata
Rositi. FB : Rositi | IG : Rositi92 | Email : Rositi_Ros@yahoo.co.id |



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter