Purnama menyapa dengan sempurna. Sinarnya yang perkasa,
menyeruak menguasai setiap nestapa. Bersamaan dengan itu, aroma kopi terendus
menguasai udara. Wanginya
sangat khas, namun
justru menyematkan luka ....
Witri berbalik dari balik jendela
tempatnya bersandar seiring resah yang kian menenggelamkan. Di kamar
ini, kembali ia rasakan dosa dari secangkir kopi kendati sepasang mata cokelat
di hadapannya, menyapa penuh cinta. Meski bukan untuk yang pertama dalam
kebersamaan, namun tetap saja, secangkir kopi yang menebarkan aroma kuat
membuatnya bak dililit dosa. Dosa
secangkir kopi, batinnya terus bergumam.
Dulu, mungkin Witri hanya sekadar
menjadi pendengar baik untuk setiap cerita yang dilantunkan oleh ayah mengenai
dosa secangkir kopi. Dikata sang Ayah,
dari sekian kenikmatan sesaat setelah menikmati secangkir kopi yang akan membuat sang ayah terjaga
sekaligus semangat kerja, selain lambung
dan ginjal menjadi
mengalami gangguan lantaran sudah terlanjur tercandu kenikmatan kopi, beliau juga pernah menjadi korban fitnah atas
racikan secangkir kopinya.
Diceritakan, saat itu, ayah Witri merupakan petani kopi di
salah satu daerah yang ada di pedalaman Lampung. Di suatu kesempatan, sang ayah
diminta untuk membuatkan secangkir kopi oleh salah satu teman sekaligus
tetangga merantau saat di Lampung. Sayang, secangkir kopi racikan ayah Witri
justru dibubuhi racun oleh temannya itu dan disuguhkan pada temannya yang satu
lagi. Setelah diselidiki, ternyata teman ayahnya itu merasa kesal pada teman
yang diracun. Pasalnya, selain teman
yang meminum kopi beracun tersebut kerap diam-diam mengambil kopi siap panen si
teman yang membubuhi racun, si teman tersebut juga beberapa kali kepergok menggoda
isteri si pembubuh racun, dan turut diketahui oleh khalayak termasuk ayah
Witri. Meski tak separah ayah Witri yang harus masuk 'bui' demi mempertanggungjawabkan kekejian temannya, hingga detik ini, masih ada dosa di secangkir
kopi. Dosa yang kerap kali tidak
disadari oleh penikmatnya terlebih mereka yang sudah tidak bisa lepas dari
kopi ....
“Wah ... suasananya benar-benar
romantis,” serunya di tengah senyum yang semakin buyar.
Witri terpaku setelah tertegun
cukup lama mengenai sepenggal kisah dari dosa secangkir kopi. Namun kiranya ia
juga tak kalah memiliki cerita dari sang ayah. Tentu berhubungan dengan rasa
bersalah yang selalu merantai di setiap ia harus berhadapan dengan sang suami
yang begitu mengayomi sekaligus rajin membuatkannya secangkir kopi.
* * *
Tiga tahun lalu, Witri tengah sibuk
berkirim pesan via BBM dengan Santi, sepupunya.
Jangan buat calon suamimu tidak kenal keluarga kita. Masa iya
sekadar dikenalin ke Mbak saja, enggak? Tulis Witri yang kembali
menikmati nuansa kafe kunjungannya. Nuansa kafe yang baru ia temui di salah satu
sudut ibukota. Kafe yang mendadak membuatnya berbunga-bunga atas pemandangan
langka bertebar aroma wangi bunga alami yang disuguhkan. Karena tak sekadar
asri atas sebaran bunga dalam pot yang menghiasi, tapi juga gaya kafe yang
mengusung nuansa terbuka bak taman impian. Belum lagi alunan musik klasik
yang disetel dengan volume lirih dan membuat nuansa semakin terasa manis
sekaligus romantis.
Witri duduk sendirian. Menyanding
beberapa tumpuk novel yang menemani laptop sambil menunggu kopi pesanannya
datang. Menjadi seorang penulis lepas memang membuatnya harus pandai-pandai
mengolah pikiran. Dan nuansa kafe yang membuatnya bak sedang piknik layaknya
kini, juga
langsung membuatnya menemukan inspirasi tulis.
Tunanganku super sibuk, Mbak. Sibuk nyiapin masa depan. Paling
kapan-kapan kita kopdar sebelum aku nikah. Balas Santi.
Segera Witri membalas. Okey, deh. Kamu hati-hati yah. Kalau ada
apa-apa, hubungi, Mbak. Sesaat setelah pesannya terkirim, Witri yang kembali mengangkat
wajah dikagetkan atas siraman secangkir kopi. Kopi yang awalnya akan
dihidangkan oleh seorang pelayan wanita, untuk Witri. Kala itu juga, Witri
sudah meracau dalam hati bila keputusannya tetap menjadikan kopi sebagai
minuman favorit
bahkan teman setia, merupakan dosa besar layaknya apa yang menimpa sang ayah. Tangan kanan Witri yang tak
memegang ponsel tersiram dan seketika memerah.
“Astaga, saya benar-benar minta
maaf. Sungguh, saya benar-benar tidak sengaja.” Sergah seorang lelaki yang tak
lain merupakan penyebab pelayan kehilangan kendali dalam kinerja hingga
secangkir kopi pesanan Witri, menyiram tangan kanan Witri. Selain sibuk meminta
maaf, lelaki bergaya dinas itu juga terlihat sangat sibuk menjawab setiap
telepon yang menghampiri ponselnya. Terhitung, ada lebih dari 5 ponsel yang
bunyi secara bersamaan dan terus berulang. Ada yang disimpan dalam saku celana,
jas, kemeja, serta genggaman tangan hingga melihatnya saja membuat Witri tidak
tega. Witri tahu betul, dikejar target pekerjaan dengan deretan jadwal yang
sangat padat, sangatlah
tidak nyaman bahkan membosankan. Ia pernah merasakannya kala ia dibanjiri job agar bisa mendapat pundi-pundi lebih
untuk menebus ayahnya di penjara, justru menjadi dirujuk sekaligus menginap di rumah sakit karena
memposir waktu.
“Tidak apa-apa, Mbak. Saya pesan
kopinya satu lagi, saja...,” ujar Witri mencoba mencairkan keadaan. Pelayan
perempuan yang melayaninya itu terlihat sangat ketakutan terlebih sang manager langsung turun tangan. “Nanti
tetap dimasukan bon. Tidak ada yang salah, kok. Ini murni kecelakaan,” Witri
masih bersikap sabar kendati tumpukan dahi yang nyaris membawa alisnya ikut
serta, menorehkan tahanan rasa sakit akibat siraman kopi.
Seorang pelayan datang setengah
berlari menghampiri sembari membawa obat anti melepuh setelah perintah sang manager. Dan demi menebus kesalahan,
sosok lelaki yang menjadi penyebab skandal pun mengambil alih sembari terus
meminta maaf di tengah ponselnya yang terus bunyi namun diabaikan.
“Nggak apa-apa, aku bisa sendiri,
Mas ....”
Ada kesungkanan yang menjerat
Witri. Terlebih, lelaki yang tetap ngotot mengobatinya itu terlihat sangat
sibuk.
“Eh, Anda sudah membaca novel
‘Dosa Secangkir Kopi’, juga?”
“Oh ...?” kedua mata Witri
terempas pada tumpukan novel yang ada di meja pesanannya. Novel paling atas
bersampul hitam bertinta warna emas itu
menjadi sumber fokusnya bersama si lelaki.
Berawal dari insiden itulah,
hubungan mereka terakit. Ternyata lelaki itu sangat menyukai novel ‘Dosa
Secangkir Kopi’ yang merupakan salah satu karya Witri. Setelah meminta tanda
tangan bahkan sampai foto bersama, lelaki yang bernama Abdi itu juga meminta
bertukar nomer ponsel dengan Witri. Semakin lama hubungan mereka semakin dekat.
Terlebih kesibukan Abdi sangat dimengerti oleh Witri yang juga kerap memberi
masukan pada Abdi. Tak jarang, Abdi juga mengajak Witri untuk menemaninya menemui klien. Abdi
merupakan pengusaha muda yang memiliki usaha di bidang kendaraan serta
permesinan. Beberapa sorum motor, mobil, serta bengkelnya sudah tersebar di
beberapa kota besar seluruh Indonesia.
“Sama halnya secangkir kopi yang
membuatku jatuh hati dan senantiasa menemani. Sepertinya akan sangat bahagia
bila selalu begini. Ada yang mengurus dan mengerti semua yang ada dalam
hidupku,” ujar Abdi di suatu malam sembari menikmati secangkir kopi.
Witri hanya tersipu dan
mengempaskan kedua matanya untuk menerawang gelapnya langit malam berhias
gemerlap bintang. Kedunya memang tengah mengunjungi kafe tempat pertama mereka
bertemu. Sembari terus menyesap lembut secangkir kopi yang masih dipenuhi
kebulan asap, kedua mata Abdi terus terpaku mengamati wajah serta tingkah
Witri. Ada gelisah yang tersimpan dari agenda remas tangan yang Witri simpan
dalam pangkuan. Serta tatapan kedua mata Witri yang terlihat kosong.
“Ada masalah?” Abdi menyudahi
sesapan kopinya dan meletakan cangkirnya pada meja.
Lamunan Witri seolah buyar. Hanya
senyum masam yang terkesan sangat dipaksakan, dan ia suguhkan sebagai balasan.
“Oh iya, kamis minggu depan aku akan pulang kampung. Sepupuku akan menikah, dan
sebelum itu, aku akan bertemu dia dan calon suaminya beserta keluarga dari
kampung. Mungkin selain paman dan bibi, kakek dan nenek juga akan ikut,”
Abdi mengernyit.
“Aku nggak minta kamu ikut,” sergah Witri cepat-cepat. Mereka memang
sudah berpacaran tiga bulan terakhir. Tepat setelah dua bulan perkenalan. Witri tahu bila Abdi sangat sibuk
hingga membuatnya tak meminta Abdi ikut serta. Witri teramat menyayangi Abdi.
Begitu juga yang Witri yakini pada Abdi.
“Ya nggak bisa begitu ...,” Abdi menghela. Salah satu tangannya meraih
sekaligus mengelus salah satu sisi wajah Witri yang turut ia elus beberapa
kali. “Yang anak bibi kamu itu, bukan? Katanya kamu yang didesak menikah oleh
keluarga. Kenapa enggak kita dulu
yang menikah?” Tatapan Abdi teramat dalam sekaligus mematikan. Bagi Witri, itu bukanlah
kekuatan, melainkan candu yang acap kali membuatnya takut layaknya secangkir
kopi yang ia nikmati. Kendati kopi bisa membuatnya semangat, namun kerap kali lambung dan ginjalnya seolah
bermasalah. Terlepas dari itu, kenyataan juga menegaskan, bila ia dan Abdi
belum memiliki ikatan resmi dalam hukum maupun agama. Kendati keduanya sama-sama berkomitmen
untuk saling menjaga sekaligus memahami batas dalam status hubungan mereka, mereka
tetap memiliki napsu. Bisa jadi, nasib
mereka juga tak beda dengan secangkir
kopi yang memiliki dosa. Dalam hati Witri juga membenarkan, bila anggapan Abdi memang keputusan
tepat. Iya ... Menikah adalah hal yang harus mereka
lakukan dan memang sudah menjadi tujuan awal kebersamaan.
Ada debar kencang pada dada Witri
yang turut ditemani serbuan panas dan mengunci relung kehidupannya. Sungguh, ia
tak hanya 'kikuk', melainkan sangat gugup. Bahkan saking gugupnya, salah satu
tangannya tak sengaja menyempar secangkir kopi miliknya yang memang sama sekali
belum ia sentuh. Kenapa selalu mengalami insiden dalam secangkir kopi di setiap
kebersamaan dengan Abdi? Apakah dosa secangkir kopi juga sudah menjerat
hubungannya dengan Abdi? Mendadak Witri diterjang pemikiran buruk.
“Sayang, hati-hati ...,” Abdi
membiarkan cangkir kopi Witri yang seketika pecah, begitu saja. Ia langsung
menyeka tangan Witri yang lagi-lagi tersiram kendati kali ini tak begitu parah
layaknya lima bulan lalu, saat awal pertemuan mereka.
* * *
“Bagaimana kabar suamimu? Kok
kamu masih adem-ayem nggak ada
perubahan? Memangnya suami dan mertua kamu nggak
bosan? Aku saja sudah mau melahirkan anak kedua,” ucap Santi sinis sembari
mengelus-elus perutnya yang buncit. Tak hanya kedua matanya yang terus bergerak
liar dan hanya akan mendarat kilat pada wajah Witri. Melainkan, duduknya juga
tidak bisa tenang, terus goyang.
Witri tersenyum kecil lalu meraih
secangkir kopi yang masih menyisakan sedikit kebulan asap. Ia belum menjawab.
Masih bergelagat santai sembari tersenyum mengamati sekitar.
“Suamiku sangat menyayangiku.
Bahkan sesibuk-sibuknya dia, dia akan membantuku menjaga anak,” tambah Santi buru-buru, seolah takut
kecolongan start pembicaraan.
Witri masih tersenyum. Kali ini
ia mengangguk dan seolah mengiyakan cerita Santi agar sepupunya itu bisa
sedikit tenang.
“Lantas, kenapa hanya diam? Mbak
seolah ngejek,” Santi terlihat semakin kesal.
“Di mata Mbak, suami sekaligus
mertua Mbak itu sempurna, San. Jadi tidak harus mengurai secara detail pada
orang lain. Cukup Mbak dan suami Mbak yang menjalani saja. Karena setiap orang memang punya
cerita,”
Santi bergegas bangkit dari
tempat duduk. “Seolah-olah Mbak ini sengaja mengorek luka lama!” ia berlalu
dengan kekesalan sembari terus memegangi perutnya yang sudah sangat besar.
Kandungannya kini memang sudah memasuki bulan ke sembilan. Anak kedua layaknya
apa yang baru dijabarkan dan lebih tepatnya dipamerkan.
Witri teramat muak dengan
keadaan. Berulang kali ia menghela, menahan air mata sembari membuang wajah. Namun
ia masih ingat betul akan janjinya pada sang suami, bila ia tak akan lagi
menangisi hal yang tidak penting. Dia akan selalu menjadi wanita sekaligus
isteri yang selalu bahagia, apapun keadaannya!
Sepanjang hari ini, Witri bak
mayat hidup yang untuk sekadar mengedipkan mata saja terasa sangat sulit. Meski
purnama tak menyapa nestapa layaknya malam-malam sebelumnya, namun dosa
secangkir kopi kembali terasa. Sang suami kembali hadir menghidangkannya penuh
cinta. Dari balik pintu kamar, ia terus menembakan binar bahagia. Witri yang
tadinya tengah menyandar pada jendela untuk mengamati suasana luar, tersenyum
dalam sambutannya. Kendati senyumnya teramat hambar, namun itu langsung
berhasil menimbulkan debaran luar biasa bahkan tidak wajar bagi sang suami.
“Aku menyerah, Mas ...,” lirihnya
pasrah. Matanya menunduk namun segera kembali terempas pada sang suami yang
berhenti melangkah, menatapnya heran. “Mas menang ...,” ada binar bahagia dalam
lanjutan Witri yang turut dibubuhi rintik air mata.
“Bukan sebuah aib bila seseorang
pernah melakukan kekeliruan ataupun kesalahan, Tri. Kamu nggak salah, Mas yakin
itu. Termasuk orangtua kamu!”
Kembali, sang suami seolah sudah
mengerti mengenai apa yang tengah menjadi sumber kegelisahan hati sang isteri.
Witri menghempaskan lirih wajahnya. Matanya yang kosong dikelibati bayangan
hitam yang membuatnya teringat dengan kejadian di masa lalu.
Saat kopi darat bersama Santi dan
calon suaminya, Witri yang ditemani Abdi benar-benar merasa tidak enak
sekaligus tidak nyaman atas kelakuan kasar Santi yang terbilang keterlaluan.
Bagi Witri, semenjak menetap di ibukota untuk kuliah sambil kerja, Santi memang
sudah berubah dan acap kali menjaga jarak dengan warga kampung halaman tak
terkecuali keluarga. Namun kala Santi mendapati Abdi yang kala itu memang
tengah menyilakan uraian rambut Witri yang menutupi sebagian wajah ke belakang
sebelum menyimpan wajah serta tubuh Witri dalam dekapan, Santi bak kesurupan
bahkan kehabisan akal.
“Mbak! Tega-teganya Mbak begini
ke aku!”
Semua mata penghuni restoran
langsung terfokus pada Santi, Witri, beserta Abdi yang bergegas berdiri.
“Santi kamu kenapa?” Witri yang
bingung mencoba bersikap tenang. Ia memutari punggung Abdi demi menghampiri
sekaligus menenangkan Santi.
Bukannya menjelaskan, Santi
justru mendaratkan tamparan panas pada salah satu pipi Witri hingga wajah Witri
terempas. Tak sampai di situ, karena Santi juga menyiramkan secangkir kopi
milik Abdi yang masih mengebulkan asap pada wajah Witri, yang baru kembali
berbalik sembari memegangi bekas tamparan.
“Susah payah aku menghubungi
calon suamiku sementara hari pernikahan semakin dekat! Jadi kamu penyebabnya?!
Kamu wanita yang sudah mengalihkan dunia tunanganku?! Kamu wanita yang sudah
merebut Abdi dari aku?!!”
Kepala Witri serasa retak bahkan
nyaris meledak. Panas tamparan beserta siraman kopi yang jelas-jelas baru
dihidangkan, tak lagi terasa. Belum lagi keberadaan paman dan bibinya yang
turut datang bersama kakek dan nenek. Apa maksud Santi serta tatapan ngeri yang
menghiasi mata nenek, kakek, terlebih paman dan bibi yang terarah tunggal
padanya?
“Witri, apa-apaan, kamu?!
Undangan pernikahan sudah disebar, semua keperluan sudah dipersiapkan, jadi
tolong jangan bikin rusuh! Cari laki-laki lain jangan merebut calon suami
adikmu! Sesusah itukah atau malah karena memang kamu tidak laku?!” bibi selaku
ibu dari Santi, meledak-ledak melebihi Santi setelah Santi lari ke dalam
pelukannya.
Witri terpekik bingung. Bahkan
untuk sekadar melihat ekspresi Abdi yang hanya diam tidak ia lakukan. Ia telah menyimpulkan
kalah berperang mempertahankan hubungan dengan Abdi. Abdi memang pernah
bercerita, bila sebelum mengenal Witri, Abdi sempat memiliki pacar. Namun
karena pacarnya itu terlalu mengatur dan banyak mau, Abdi memilih mudur.
Selebihnya, Witri tidak pernah meminta Abdi untuk bercerita lantaran Witri
percaya.
Kini, dalam pelukan Purnama
suaminya, Witri terisak nelangsa. Purnama merupakan laki-laki pilihan kakaknya
yang dijodohkan dengannya demi menghindari tuntutan keluarga terlebih Santi.
Santi telah menikah dengan Abdi, namun pernikahan mereka sama sekali tidak
harmonis lantaran sifat Santi yang sangat menuntut kesempurnaan. Terdengar,
Abdi sudah berulang kali ingin menceraikan Santi. Sementara Witri dan Purnama
yang menikah lebih awal justru kebalikannya, kendati hubungan mereka memang
berlangsung biasa-biasa saja dan cenderung dipenuhi kesenjangan. Purnama tahu
semuanya termasuk semua yang membuat Witri mengambil keputusan. Begitu pun
sebaliknya. Karena Witri juga sadar bila lelaki yang dua tahun penuh
memperisterinya itu juga bisa lelah layaknya apa yang membuatnya menyerah atas
dusta dari cinta Abdi.
“Aku menyerah dan sepenuhnya
sadar, bila Mas Purnama adalah laki-laki yang seharusnya aku ayomi sekaligus
cintai,” Witri menatap kedua mata Purnama sangat lekat. Kehadiran Abdi memang
membuat hidup Witri tak beda dengan sebuah drama romantis berujung tragis.
Meski kehadiran Purnama justru membuat Witri membuka mata sekaligus hati, bila
laki-laki yang begitu sabar dan selalu mempermudah kehidupannya itu merupakan
sosok lelaki yang selama ini ia cari.
Butiran bening turut berseluncur
dari kedua ujung mata Purnama. Lelaki yang hanya melihat Witri sebagai
satu-satunya wanita yang dicintai itu seolah kehabisan kata-kata.
“Terimakasih karena telah
membuatku menjadi wanita sekaligus isteri yang sangat dan paling bahagia,”
Kali ini Purnama sibuk
mengangguk. Dekapannya terhadap tubuh Witri semakin erat. Malam ini, untuk
pertama kali setelah kebersamaan dua tahun lebih bergulir, Witri isterinya mau
ia sentuh bahkan memulai lebih dulu.
“Dari awal mendengar cerita
tentangmu dari kakakmu, aku sudah menganggumimu. Sayangnya, selain tidak berani
mengungkapkan, aku juga takut mematahkan deretan mimpimu. Terlebih saat aku mulai maju,
kamu sedang bahagia-bahagianya dengan Abdi.”
Witri tersipu dan kembali
menyandarkan wajah ke dalam dada bidang Purnama. Terdengar getar tanda
panggilan masuk dari ponsel miliknya yang ia taruh di meja sebelah ranjang.
Kebiasaan rutin Abdi memang masih berusaha menghubunginya kendati ia terus melakukan
penghindaran. Mungkin itu juga penyebab kekesalan Santi yang menjadi semakin
menjadi. Terlepas dari semua itu, kini Witri hanya akan membenahi sekaligus
menata masa depan penuh kebahagiaan bersama Purnama—suaminya. Meski Abdi
merupakan cinta pertama yang teramat sulit untuk dilupakan, namun pada
kenyataannya, Purnama-lah sosok yang telah memberinya kebahagiaan sekaligus
masa depan.
“Ini, nanti dingin. Tidak ada
dosa pada secangkir kopi yang aku buat. Karena dalam kopi ini, terkandung
banyak cinta sekaligus kasih sayang.”
Lagi-lagi Witri tersipu.
***
Biodata