“Seandainya
aku melakukan kebenaran sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan
sekali, sungguh manusia akan menghitung-hitung satu kesahalan tersebut.”
(Imam Asy
Sya’bi)
Ada
seorang ibu rumah tangga. Dia melakukan pekerjaan rumah tangga dengan sebaik
mungkin. Mencuci, memasak, membersihkan rumah, dan seabrek pekerjaan rumah yang
sebenarnya tak akan ada habis. Dengan setulus hati dan rasa cinta yang dalam,
dia merawat suami dan anak-anaknya. Keluarga terasa sangat harmonis.
Hingga suatu hari, meski dengan kepala yang
pusing dan badan mengigil, dia tetap memaksakan diri memasak untuk disuguhkan
kepada suaminya sepulang kerja petang nanti. Tanpa sengaja, dia melakukan
kesalahan dengan memasukkan terlalu banyak garam sehingga makanannya terasa
begitu asin. Dan apa yang terjadi? Dia dimaki-maki suaminya. Dihina. Dicerca.
Dimarahi.
“Dasar istri b*d*h! Masak sayur aja keasinan
kayak gini! Dasar nggak becus masak! Kamu ingin membunuhku dengan masakan asin
ini, hah! Jangan-jangan kamu ada punya selingkuhan, jadi ingin membunuhku!”
Nah lo? Kok jadi ngawur sampai nyebut
selingkuhan gitu? Tapi, hal itu bisa terjadi lho!
Kalau kita amati, sebenarnya permasalahan
yang terjadi di atas adalah permasalahan yang sangat sepele. Hanya karena kurang
teliti memasukan garam pada masakan, masak berujung pada pertengkaran, bahkan
perceraian! Padahal telah banyak kebaikan yang telah dilakukan si istri
tersebut.
Itulah yang sering terjadi pada diri kita,
Kawan! Kita sering melupakan begitu banyak kebaikan yang telah dilakukan orang
lain hanya gara-gara satu kesalahan yang terkadang itu sangat sepele. Padahal
kalau kita pikirkan baik-baik, kita juga bisa melakukan kesalahan seperti apa
yang dilakukan orang lain tersebut. Apabila kita yang melakukan kesalahan
tersebut, apakah kita akan menghakimi diri kita seperti kita menghakimi orang
lain? Belum tentu juga sang suami bisa memasak seperti istrinya. Malah mungkin
tidak bisa memasak sama sekali.
Kawan, manusiawi kita adalah makhluk yang tak
pernah lepas dari salah dan khilaf. Tentu untuk menyikapi itu semua kita diajarkan
untuk sabar dan saling memaafkan. Andai sang suami bisa sabar dan memaafkan, tentu
makian itu tak akan terlontarkan. Padahal masakan bisa dimasak kembali, bukan?
Tahan emosimu dan cobalah berpikir positif!
Itu yang harus kita lakukan apabila menghadapi kesalahan yang dilakukan orang
lain. Coba kita cari tahu dahulu, apa penyebab kesalahan itu terjadi. Dan
belajarlah untuk mengerti apa yang terjadi dengan orang itu sehingga dia
melakukan kesalahan. Bayangkan jika itu terjadi pada diri kita! Mungkin itu
bisa membantu kita untuk mudah memahami. Cobalah bicarakan secara baik
dengannya. Itu lebih baik daripada langsung melontarkan makian. Karena makian
sama saja dengan membunuh orang itu! Dan akhirnya, belajarnya untuk memaafkan.
Nah, kalau sudah gini kan, indah jadinya.
Namun, begitulah hakikat manusia, selalu
lebih tampak yang salah ketimbang yang baik. Seperti ketika melihat selembar
kertas, maka kertas itu akan disebut selembar kertas putih. Tapi, setelah
dititiki setitik tinta hitam, kertas yang putih akan berganti nama dengan
kertas bertitik hitam. Padahal masih lebih banyak warna putih daripada warna
hitam.
Satu kesalahan akan merusak banyak kebaikan,
itulah makna yang diungkapkan oleh Imam Asy Sya’bi pada kalimat di awal tadi. Namun,
hanya diri kita sendiri yang bisa mengontrol apakah kita akan selamanya
terpuruk dalam pemikiran ‘Setitik Hitam Kalahkan Selembar Putih’. Kunci
keluarnya adalah harus sabar, bisa memahami, dan belajar memaafkan.
Kalau sudah begitu, jadi manis kan rasanya. [
]