Kamis, 1 Desember 2016 sekitar pukul 10 siang saya dapat sms,
"Golok yang dipesan sudah selesai."
"Ya, sepulang sekolah saya mampir mengambil
barangnya," balasku.
Lah, apa hubungannya sms ini dengan menulis? Nanti dulu,
sabar, saya cerita dulu, ya.
Perhatikan judul tulisan ini! Nah, sudah pahamkan? Kalau begitu
saya lanjutkan ceritanya. Hampir dua bulan yang lalu saya memesan golok
sembelih di pasar Amuntai (Panagaraan), soalnya golok sembelih tidak tersedia
kecuali ada pesanan khusus. Lalu saya pesan golok dengan bahan bar sinshow,
panjang bilah besinya 45 cm.
Anda bisa bayangkan bagaimana proses menempa besinya, dibakar,
dipukul berkali-kali sampai berbentuk golok. Golok belum bisa dimanfaatkan
sebelum tajam. Ternyata golok yang saya pesan masih kasar, belum tajam. Tugas
saya sendiri mengasahnya.
Ada tiga media asah yang saya sediakan. Pertama,
batu asah yang memiliki dua sisi, yang kasar dan yang agak lembut. Batu asah
yang kedua batu yang lembut tanpa gret. Ketiga, kulit khusus untuk media asah.
Proses asah yang saya lakukan ternyata tiga hari baru saya menemukan ketajaman
yang setajam selet. Seharinya saya memakai waktu sekitar 45 menit sekali duduk.
Dengan ketajaman itu, insyaallah satu kali gorok leher sapi sudah bisa
putus.
Di sini saya tidak menceritakan teknik mengasahnya karena bukan
itu tujuannya. Yang saya tekankan di sini adalah bagaimana sesuatu bisa
bermanfaat. Dan, untuk mencapai itu perlu proses. Begitu juga
dengan menulis.
Manakala seseorang menyadari bahwa untuk mendapatkan keterampilan
menulis perlu proses latihan yang cukup lama bahkan harus diasah terus tanpa
kenal waktu, suatu saat ia akan menikmati kemanfaatannya. Bahkan, ketika
melalui proses itu pun, ia bisa menikmati sensasi tersendiri yang setiap orang
berbeda dalam merasakannya.
Ketika tulisan kita jelek, dan dicela orang, anggap saja ini
proses yang harus dilalui seperti golok yang dibakar dan ditempa dengan pukulan
keras. Jangan berhenti, nikmatilah proses itu. Teruslah asah sampai
tajam. [ ]