Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 17 Desember 2016

CERPEN NASRUL MUHAMAD RIZAL: BUMI YANG SEKARAT


Kau terlahir sebagai khalifah di bumi ini, meskipun malaikat mempertanyakan keputusan itu pada yang Maha Kuasa karena telah memilihmu. Kau tercipta menjadi mahluk yang sempurna. Berbeda dengan mahluk lainnya, kau diberi akal. Akal yang seharusnya kau gunakan untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Dengannya kau bisa mengelola kekayaan yang terkandung dalam perutnya, kau mampu memperindah permukaannya, dan kau sanggup membuatnya menjadi tempat yang nyaman bagi mahluk lain. Kenyataannya kau membuat bumi menangis, merasakan bagaimana kejinya kau memperlakukan dia. Kau mahluk berbahaya bernama manusia.

Sampah berceceran di sembarang tempat, mengotori permukaan bumi ini. Tanpa malu kau membuang sisa makanan, kotoran, hingga limbah. Padahal kau sendiri yang membuat slogan “Jagalah kebersihan! Buanglah sampah pada tempatnya.”Bahkan kau mengaitkannya dengan keimanan, “Kebersihan sebagian dari iman.” Kelakuanmu itu seakan sudah mendarah daging. Dari kecil hingga dewasa sekalipun kau tetap sama. Hanya bisa berbicara tanpa bukti nyata.
Kau mengutuk awan yang tak henti menumpahkan air yang dikandungnya. Kau membenci sungai yang tak mampu menampung air yang dimilikinya. Hingga air itu merendam tempat tinggalmu, merampas harta benda yang kau puja, dan merenggut nyawa seseorang yang kau cinta. Bodohnya kau masih tidak menyadari kenapa semua itu bisa terjadi.
“Tuhan, kenapa Engkau begitu tega mengirimkan banjir ini, merenggut harta dan nyawa keluarga kami?” Kau mengadu pada yang Maha Kuasa.  Mengiba pada-Nya, seakan kau makhluk paling menderita, korban bencana. Dan tetap saja kau masih menyalahkan hujan dan sungai.
Salahkah hujan dan sungai yang mengabulkan permintaanmu? Kau sendiri yang meminta bencana, wahai manusia! Kau pikir dengan membersihkan sungai setahun sekali itu solusi menghadapi banjir yang selalu menghampiri. Kau pikir dengan memperdalam sungai tidak akan membuat rumahmu tenggelam. Kau keliru, sungguh keliru wahai manusia. Selama kau masih membuang sampah di sembarang tempat, hanya soal waktu air akan merendammu. Selama kau sibuk membangun rumah di pinggir sungai, selama itu pula air akan menghancurkannya.
Ketika hujan berhenti, digantikan matahari, kau pun berulah lagi. Kau mengeluh karena peluh membanjiri tubuh. Panas, ya, bumi yang kau pijak kian hari semakin panas. Payung yang biasanya kau gunakan untuk melindungimu dari tetesan hujan, kini kau gunakan pula sebagai pelindung dari sengatan matahari. Panasnya siap membakar kulitmu. Gerah akan menemanimu saat lelah. Namun, sekali lagi kau tidak merasa bersalah.
Sadarkah kau wahai manusia? Bumi yang semakin panas ini, sedikit banyak karena ulahmu. Bukan matahari yang bertambah panas, tapi bumi yang tidak lagi sejuk. Kau membakar hutan demi kekayaan, kau bangun gedung pencakar langit, kepulan asap sengaja kau hadirkan pada moncong-moncong pabrik. Karena semua itu bumi menjadi sekarat. Bumi tidak bisa terus bertahan! Tragisnya tingkahmu semakin parah. Kau bakar paru-paru bumi (hutan) demi membuka lahan, bahkan tidak jarang kau jadikan pabrik pengeruk kekayaan. Kian hari gedung yang kau bangun semakin banyak dan tinggi. Dan asap tak henti membuat langit menjadi hitam pekat.
Kau mahluk paling berbahaya, wahai manusia! Kau tega merusak bumi, yang seharusnya kau jaga. Mengeruk habis kekayaan yang dikandungnya. Tidak berhenti melubanginya untuk mencari minyak dan permata. Celakanya kau menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Kau tega mencemari lingkungan. Padahal kau pun tahu bukan kau saja yang tinggal di bumi ini.
Tidak puas merusak daratan, kau pun menjarah lautan. Kau menggunakan bahan kimia, membuat bom, untuk menangkap ikan. Katamu itu adalah cara tercepat mengumpulkan ikan. Lebih mudah dari menggunakan jaring dengan susah payah. Lebih gampang dari memancing yang –selalu– membuatmu gamang. Kau hanya memikirkan dirimu saja, wahai manusia! Tidak peduli bom yang kau ledakkan akan merusak ekosistem. Karang yang memerlukan waktu yang lama untuk tertata, hancur seketika oleh ulahmu. Hancur dengan mudahnya!
Tidak berhenti di situ. Tidak ada lahan, kau jadikan alasan untuk membuat pantai buatan. Kau tega mengusir ikan dari tempat tinggalnya, demi mendirikan bangunan yang kelak kau jadikan tempat tinggal.
Masih ingatkah kau, wahai manusia? Malaikat pernah mempertanyakan keputusan sang Maha Kuasa, atas keputusannya menjadikanmu khalifah di bumi ini. “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”
Lihatlah sekarang wahai kau manusia! Kau tega merusak bumi. Membuatnya semakin sekarat. Daratan dan lautan menjadi saksi perbuatanmu yang keji. Kau terlalu serakah. Hanya memikirkan kekayaan dan kesenangan saja, tidak peduli dengan cara apa pun kau memperolehnya. Kau terlalu egois, membiarkan mahluk lain menangis. Kapan kau akan berhenti untuk menghakimi bumi? [ ]

Bandung, 2016.

*Cerpen ini meraih juara ke 3 dalam lomba cerpen tingkat universitas yang diadakan oleh SPAI Tutorial MKDU UPI.


BIODATA:
Nasrul M Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Menulis adalah cara untuk memafaatkan waktu di sela-sela kesibukannya sebagi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia. Berkeinginan mempunyai perpustakaan pribadi dan melahirkan karya yang bermanfaat. Komunikasi lebih lanjut bisa melalui facebook: Nasrul Muhamad Rizal atau line: @mr_nasrul




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter