Kau terlahir sebagai khalifah di bumi
ini, meskipun malaikat
mempertanyakan keputusan itu pada yang Maha Kuasa karena telah memilihmu. Kau tercipta menjadi mahluk yang sempurna. Berbeda dengan mahluk lainnya, kau diberi akal.
Akal yang seharusnya kau gunakan untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Dengannya kau bisa mengelola kekayaan yang
terkandung dalam perutnya, kau mampu memperindah permukaannya, dan kau sanggup
membuatnya menjadi tempat yang nyaman bagi mahluk lain. Kenyataannya kau
membuat bumi menangis, merasakan bagaimana kejinya kau memperlakukan dia. Kau
mahluk berbahaya bernama manusia.
Sampah berceceran di
sembarang tempat, mengotori permukaan bumi ini. Tanpa malu kau membuang sisa
makanan, kotoran, hingga limbah. Padahal kau sendiri yang membuat slogan
“Jagalah kebersihan! Buanglah sampah pada tempatnya.”Bahkan kau mengaitkannya
dengan keimanan, “Kebersihan sebagian dari iman.” Kelakuanmu itu seakan sudah
mendarah daging. Dari kecil hingga dewasa sekalipun kau tetap sama. Hanya bisa
berbicara tanpa bukti nyata.
Kau mengutuk awan yang
tak henti menumpahkan air yang dikandungnya. Kau membenci sungai yang tak mampu
menampung air yang dimilikinya. Hingga air itu merendam tempat tinggalmu,
merampas harta benda yang kau puja, dan merenggut nyawa seseorang yang kau
cinta. Bodohnya kau masih tidak menyadari kenapa semua itu bisa terjadi.
“Tuhan, kenapa Engkau
begitu tega mengirimkan banjir ini, merenggut harta dan nyawa keluarga kami?” Kau
mengadu pada yang Maha Kuasa. Mengiba
pada-Nya, seakan kau makhluk paling menderita, korban bencana. Dan tetap saja
kau masih menyalahkan hujan dan sungai.
Salahkah hujan dan
sungai yang mengabulkan permintaanmu? Kau sendiri yang meminta bencana, wahai
manusia! Kau pikir dengan membersihkan sungai setahun sekali itu solusi
menghadapi banjir yang selalu menghampiri. Kau pikir dengan memperdalam sungai
tidak akan membuat rumahmu tenggelam. Kau keliru, sungguh keliru wahai manusia.
Selama kau masih membuang sampah di sembarang tempat, hanya soal waktu air akan
merendammu. Selama kau sibuk membangun rumah di pinggir sungai, selama itu pula
air akan menghancurkannya.
Ketika hujan berhenti,
digantikan matahari, kau pun berulah lagi. Kau mengeluh karena peluh membanjiri
tubuh. Panas, ya, bumi yang kau pijak kian hari semakin panas. Payung yang
biasanya kau gunakan untuk melindungimu dari tetesan hujan, kini kau gunakan
pula sebagai pelindung dari sengatan matahari. Panasnya siap membakar kulitmu.
Gerah akan menemanimu saat lelah. Namun, sekali lagi kau tidak merasa bersalah.
Sadarkah kau wahai
manusia? Bumi yang semakin panas ini, sedikit banyak karena ulahmu. Bukan
matahari yang bertambah panas, tapi bumi yang tidak lagi sejuk. Kau membakar
hutan demi kekayaan, kau bangun gedung pencakar langit, kepulan asap sengaja
kau hadirkan pada moncong-moncong pabrik. Karena semua itu bumi menjadi
sekarat. Bumi tidak bisa terus bertahan! Tragisnya tingkahmu semakin parah. Kau
bakar paru-paru bumi (hutan) demi membuka lahan, bahkan tidak jarang kau
jadikan pabrik pengeruk kekayaan. Kian hari gedung yang kau bangun semakin
banyak dan tinggi. Dan asap tak henti membuat langit menjadi hitam pekat.
Kau mahluk paling
berbahaya, wahai manusia! Kau tega merusak bumi, yang seharusnya kau jaga. Mengeruk
habis kekayaan yang dikandungnya. Tidak berhenti melubanginya untuk mencari
minyak dan permata. Celakanya kau menghalalkan segala cara untuk
mendapatkannya. Kau tega mencemari lingkungan. Padahal kau pun tahu bukan kau
saja yang tinggal di bumi ini.
Tidak puas merusak
daratan, kau pun menjarah lautan. Kau menggunakan bahan kimia, membuat bom,
untuk menangkap ikan. Katamu itu adalah cara tercepat mengumpulkan ikan. Lebih mudah
dari menggunakan jaring dengan susah payah. Lebih gampang dari memancing yang
–selalu– membuatmu gamang. Kau hanya memikirkan dirimu saja, wahai manusia!
Tidak peduli bom yang kau ledakkan akan merusak ekosistem. Karang yang
memerlukan waktu yang lama untuk tertata, hancur seketika oleh ulahmu. Hancur
dengan mudahnya!
Tidak berhenti di situ.
Tidak ada lahan, kau jadikan alasan untuk membuat pantai buatan. Kau tega
mengusir ikan dari tempat tinggalnya, demi mendirikan bangunan yang kelak kau
jadikan tempat tinggal.
Masih ingatkah kau,
wahai manusia? Malaikat pernah mempertanyakan keputusan sang Maha Kuasa, atas
keputusannya menjadikanmu khalifah di
bumi ini. “Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami
bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?”
Lihatlah sekarang wahai
kau manusia! Kau tega merusak bumi. Membuatnya semakin sekarat. Daratan dan
lautan menjadi saksi perbuatanmu yang keji. Kau terlalu serakah. Hanya
memikirkan kekayaan dan kesenangan saja, tidak peduli dengan cara apa pun kau
memperolehnya. Kau terlalu egois, membiarkan mahluk lain menangis. Kapan kau
akan berhenti untuk menghakimi bumi? [ ]
Bandung, 2016.
*Cerpen ini meraih juara ke 3 dalam lomba cerpen
tingkat universitas yang diadakan oleh SPAI Tutorial MKDU UPI.
BIODATA:
Nasrul
M Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di
Garut. Menulis adalah cara untuk memafaatkan waktu di sela-sela kesibukannya
sebagi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia. Berkeinginan mempunyai
perpustakaan pribadi dan melahirkan karya yang bermanfaat. Komunikasi lebih
lanjut bisa melalui facebook: Nasrul Muhamad Rizal atau line: @mr_nasrul