Pages

Ads 468x60px

Jumat, 16 Desember 2016

PUISI L FARA CECE LUCINA: WAJAH TAHAJUD


Puisi I
SAMPAN IMAJINASI

Lelakiku ...
Tiada makna dari sebuah kebetulan.
Tatkala derai awan menggamit tangkai hujan, kita merengkuh bersama di bawah pelepah cinta.
Mula sapa tak mengenal, kini tawa saling menyilang.
Berakhir kusam waktu dari ampas-ampas hari yang terhapus dalam bidang dadamu.
Kita pernah mengalami punggung musim, juga elegi yang serupa.

Tak berlebihan kiranya, jika kupancang penggalan nama kita di rongga langit antara bintang-bintang.
Senantiasa menyala, walau matahari menutupi mata-hati. Sebagai tanda terpautnya dua hati.
Meniti lekuk cahaya yang sedari tadi menaiki pelaminan senja.
Mari kita tungkulkan dinding malam menuju pagi, menaiki sampan imajinasi. Sembari menanti zuriah dari dekap kasih cinta kita: kau dan aku.


Seoul, 19 Maret 2016




Puisi II
WAJAH TAHAJUD

Lelah aku menguntit jejak angin yang sejatinya tak berwujud. Sobekan kolase harapan-harapanku masih sering diperdengarkannya pada kaca jendela waktu. Atau sekedar meluruhkan daun nestapa tempo dulu. Cukup menampar payaunya rasaku.
Kalau mau, aku sanggup merias wajahmu semolek malam. Tapi, jangan minta aku semalaman menaungi wajahmu, sebab wajah sendiri saja rupanya aku tak tahu.

Jeruji langit senantiasa terbuka di bibir doa yang kugelar dengan takbir. Walau tak mampu menyirami matahari, namun setidaknya bulan tetap bertasbih. Mimpi itu tentu kudu dipotong, biar pagi mampu menatap malam.
Malam yang membelah diri, menjadi tiga:
Sepertiga pertama untuk mengeja aksara di bawah rongga langit. Sepertiga kedua untuk melagu rindu di pembaringan, denganmu. Sepertiga sisanya untuk mengais kasih-Mu. Entahlah, aku pun sering lupa.

Jika darahku semerbak bau bangkai, apakah Tuhan akan terjebak antara mencintai sekali lalu membenci?


Seoul, 20 Maret 2016




Puisi III
MATI DI KAKI TUHAN

Anjing-anjing gelojoh menyilih di sepenggal napas, sedang yang lain terkungkung muka-muka lembab. Menyaksikan mimpi disembam gelap masa, sisanya tinggal ruh menggigil pada sendi.
Kali terakhir kubaca duaja pelayaran fana melintasi kota paling desa, lantas pemakaman terkekeh di mulut kehidupan.
Subuh habis kehilangan senja. Tiang sejatinya mencanak ke langit, namun tak acuh. Bahkan kaki Tuhan saja enggan menilik hati ini.
Kini jasadku membusuk dalam waktu yang telah lama pikun. Murka-Nya sedia mencabik senti kulitku, sebab tobat dihela kesenggangan.


Seoul, 26 Maret 2016


BIODATA:
L Fara Cece Lucina lahir 19 tahun yang lalu, eberapa Penerbit Mayor dan Indie khilaf menerbitkan karyanya. Never give up! Fighting! Just do the best. Talk Less, Do More. Bisa dihubungi melalui email: fcece95@gmail.com, Facebook: L-Fara Cece Lucina, Fanspage: L Fara Cece Lucina, Twitter: @fcece95, atau Instagram: @lflucinacece97. http://leventorganizer.wordpress.com atau http://lucinacece.blogspot.com.




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter