Puisi I
SAMPAN
IMAJINASI
Lelakiku
...
Tiada
makna dari sebuah kebetulan.
Tatkala
derai awan menggamit tangkai hujan, kita merengkuh bersama di bawah pelepah
cinta.
Mula
sapa tak mengenal, kini tawa saling menyilang.
Berakhir
kusam waktu dari ampas-ampas hari yang terhapus dalam bidang dadamu.
Kita
pernah mengalami punggung musim, juga elegi yang serupa.
Tak
berlebihan kiranya, jika kupancang penggalan nama kita di rongga langit antara
bintang-bintang.
Senantiasa
menyala, walau matahari menutupi mata-hati. Sebagai tanda terpautnya dua hati.
Meniti
lekuk cahaya yang sedari tadi menaiki pelaminan senja.
Mari
kita tungkulkan dinding malam menuju pagi, menaiki sampan imajinasi. Sembari
menanti zuriah dari dekap kasih cinta kita: kau dan aku.
Seoul, 19 Maret 2016
Puisi II
WAJAH
TAHAJUD
Lelah
aku menguntit jejak angin yang sejatinya tak berwujud. Sobekan kolase
harapan-harapanku masih sering diperdengarkannya pada kaca jendela waktu. Atau
sekedar meluruhkan daun nestapa tempo dulu. Cukup menampar payaunya rasaku.
Kalau
mau, aku sanggup merias wajahmu semolek malam. Tapi, jangan minta aku semalaman
menaungi wajahmu, sebab wajah sendiri saja rupanya aku tak tahu.
Jeruji
langit senantiasa terbuka di bibir doa yang kugelar dengan takbir. Walau tak
mampu menyirami matahari, namun setidaknya bulan tetap bertasbih. Mimpi itu
tentu kudu dipotong, biar pagi mampu menatap malam.
Malam
yang membelah diri, menjadi tiga:
Sepertiga
pertama untuk mengeja aksara di bawah rongga langit. Sepertiga kedua untuk
melagu rindu di pembaringan, denganmu. Sepertiga sisanya untuk mengais
kasih-Mu. Entahlah, aku pun sering lupa.
Jika
darahku semerbak bau bangkai, apakah Tuhan akan terjebak antara mencintai
sekali lalu membenci?
Seoul, 20 Maret 2016
Puisi III
MATI DI KAKI
TUHAN
Anjing-anjing
gelojoh menyilih di sepenggal napas, sedang yang lain terkungkung muka-muka
lembab. Menyaksikan mimpi disembam gelap masa, sisanya tinggal ruh menggigil
pada sendi.
Kali
terakhir kubaca duaja pelayaran fana melintasi kota paling desa, lantas
pemakaman terkekeh di mulut kehidupan.
Subuh
habis kehilangan senja. Tiang sejatinya mencanak ke langit, namun tak acuh.
Bahkan kaki Tuhan saja enggan menilik hati ini.
Kini
jasadku membusuk dalam waktu yang telah lama pikun. Murka-Nya sedia mencabik
senti kulitku, sebab tobat dihela kesenggangan.
Seoul, 26 Maret 2016
BIODATA:
L Fara Cece Lucina
lahir 19 tahun yang lalu, eberapa Penerbit Mayor dan Indie khilaf menerbitkan
karyanya. Never give up! Fighting! Just do the best. Talk Less, Do More. Bisa
dihubungi melalui email: fcece95@gmail.com, Facebook: L-Fara Cece Lucina, Fanspage: L Fara Cece
Lucina, Twitter: @fcece95, atau Instagram: @lflucinacece97. http://leventorganizer.wordpress.com atau http://lucinacece.blogspot.com.