Pages

Ads 468x60px

Senin, 21 November 2016

ZULFAISAL PUTERA: PIL PAHIT


Lelaki yang duduk semeja di seberangku ini usianya lebih muda dariku. Dia penduduk Jakarta. Kami berteman karena sama sama suka menulis. Bertemu, jika aku sedang berada di kotanya dan punya waktu lebih. Seperti malam itu, di sebuah tea salon and boutique terkenal di Plaza Senayan, setelah sama menyeruput segelas teh yang disajikan dan basa basi sana sini, dia mulai ungkapkan bagaimana isi hatinya tentang peristiwa terkini di kotanya yang menarik perhatian publik nasional saat ini.
“Bagaimana pun, gua lega karena kemarin dia sudah ditetapkan jadi tersangka,” katanya, “paling tidak, bisa membuat suasana sedikit tenang!”. “La, emang Kamu ikut terlibat juga demo tanggal 4 itu? Bukannya selama ini Kamu termasuk mendukung kepemimpinannya?” selaku. ”Iya. Bagi gua, dia tetap gubernur hebat. Untuk menghadapi kota segarang Jakarta ini diperlukan gaya koboi seperti itu. Sayang dia ga jaga bacotnya. Sementara, sebagai muslim, gua harus bela kitab suci gua!”
Anda tentu bisa memahami bagaimana perasaannya sebagai warga yang beberapa waktu ini menikmati betul bagaimana nyamannya kota itu setelah dipimpin oleh yang bersangkutan. Namun, harus mengambil sikap ketika orang yang dikaguminya itu berbuat sesuatu yang diduga menista keyakinannya. Hal demikian tentu juga pernah kita alami. Ketika suatu waktu harus menelan kekecewaan atas sebuah peristiwa yang takdisangka atau keputusan yang bertentangan dengan hati nurani.
Dalam kasus yang berbeda, reaksi rakyat Amerika Serikat atas kemenangan Donald Trump bisa juga dijadikan contoh. Demo tak henti-hentinya sebagian besar rakyat Paman Sam terhadap terpilihnya Trump itu menggambarkan bagaimana hati mereka tak bisa menerima presiden baru yang terpilih secara demokratis itu. Bukan itu saja, seluruh warga dunia juga bereaksi karena beranggapan masa depan ekonomi dunia akan suram. Namun, toh pada akhirnya nanti semua harus menerima kenyataan ini bagaimana pun pahitnya. 
Teringat cerita lama saat pilpres 2014 ketika terjadi perang caci maki di media sosial antara kedua pendukung capres saat itu. Seorang pejabat setingkat kepala badan di banua pendukung militan salah satu capres sangat gencar menyerang dinding fb pendukung lawan dengan tulisan dan gambar yang mendiskreditkan capres lawan. Bahkan dia berkoar tidak akan memasang foto presiden terpilih di ruang kerjanya apabila capres lawan itu yang menang. Nyatanya, ketika berkunjung ke kantornya suatu hari, foto presiden yang tak didukung itu terpatri di dinding ruang kerjanya. 
Dalam peristiwa budaya pun sering kita temukan suasana semacam ini. Setangguh-tangguhnya kita berada dalam ruang idealis kebudayaan nasional, kenyataan negeri ini sudah dikepung dengan kebudayaan asing tanpa batas. Atau, sekuat-kuatnya kita bertahan dalam rumah kebudayaan lokal (baca : daerah), kenyataan pintu dan jendela kita terbuka lebar akan kehadiran budaya daerah lain. Tentu, kita takbisa sembarang menyebut kebudayaan di luar itu sebagai kebudayaan imperialis, di samping karena ketahanan budaya kita sendiri lemah, ternyata kita juga membutuhkannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pada banyak kota dan kabupaten yang ingin mengembangkan daerahnya sebagai kota modern dan kota wisata yang dilirik para investor, maka haruslah tersedia infrastruktur pendukung yang akan menjadi magnet. Tentu akan berimbas pada meningkatkan PAD. Apa pun lebel kota itu, dari kota bermartabat sampai kota religius, akhirnya harus bertoleransi dengan hal-hal yang kontradiktif seperti tumbuhnya kehidupan dunia malam, diskotek, dan bar, yang menyuburkan beredarnya minuman beralkohol dan narkotika. Dan kita pun harus menelan kenyataan ini. 
Ada banyak peristiwa lagi di sekitar kita, di lingkungan kerja sehari hari, bahkan dalam rumah sendiri, yang bisa dijadikan contoh bagaimana akhirnya kita harus menerima kenyataan yang takdikehendaki. Kita sering menyebutnya dengan ‘menelan pil pahit’. Pil yang tetap pahit, sekali pun tidak berfungsi sebagaimana obat. Mengapa kita mampu menelannya dan akhirnya bisa menerima? Karena kita tidak menahan pil itu tetap di mulut dan di lidah sebagai alat perasa, tetapi langsung menelannya hingga ke dalam perut. Pil itu diolah oleh metabolisme tubuh dan melebur dalam darah yang menjadi energi baru hidup kita. [ ]


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter