Lelaki yang duduk semeja di seberangku ini
usianya lebih muda dariku. Dia penduduk Jakarta. Kami berteman karena sama sama
suka menulis. Bertemu, jika aku sedang berada di kotanya dan punya waktu lebih.
Seperti malam itu, di sebuah tea salon and boutique terkenal di Plaza Senayan,
setelah sama menyeruput segelas teh yang disajikan dan basa basi sana sini, dia
mulai ungkapkan bagaimana isi hatinya tentang peristiwa terkini di kotanya yang
menarik perhatian publik nasional saat ini.
“Bagaimana pun, gua lega karena kemarin dia
sudah ditetapkan jadi tersangka,” katanya, “paling tidak, bisa membuat suasana
sedikit tenang!”. “La, emang Kamu ikut terlibat juga demo tanggal 4 itu?
Bukannya selama ini Kamu termasuk mendukung kepemimpinannya?” selaku. ”Iya.
Bagi gua, dia tetap gubernur hebat. Untuk menghadapi kota segarang Jakarta ini
diperlukan gaya koboi seperti itu. Sayang dia ga jaga bacotnya. Sementara,
sebagai muslim, gua harus bela kitab suci gua!”
Anda tentu bisa memahami bagaimana perasaannya
sebagai warga yang beberapa waktu ini menikmati betul bagaimana nyamannya kota
itu setelah dipimpin oleh yang bersangkutan. Namun, harus mengambil sikap
ketika orang yang dikaguminya itu berbuat sesuatu yang diduga menista
keyakinannya. Hal demikian tentu juga pernah kita alami. Ketika suatu waktu
harus menelan kekecewaan atas sebuah peristiwa yang takdisangka atau keputusan
yang bertentangan dengan hati nurani.
Dalam kasus yang berbeda, reaksi rakyat Amerika
Serikat atas kemenangan Donald Trump bisa juga dijadikan contoh. Demo tak
henti-hentinya sebagian besar rakyat Paman Sam terhadap terpilihnya Trump itu
menggambarkan bagaimana hati mereka tak bisa menerima presiden baru yang
terpilih secara demokratis itu. Bukan itu saja, seluruh warga dunia juga
bereaksi karena beranggapan masa depan ekonomi dunia akan suram. Namun, toh
pada akhirnya nanti semua harus menerima kenyataan ini bagaimana pun pahitnya.
Teringat cerita lama saat pilpres 2014 ketika
terjadi perang caci maki di media sosial antara kedua pendukung capres saat
itu. Seorang pejabat setingkat kepala badan di banua pendukung militan salah
satu capres sangat gencar menyerang dinding fb pendukung lawan dengan tulisan
dan gambar yang mendiskreditkan capres lawan. Bahkan dia berkoar tidak akan
memasang foto presiden terpilih di ruang kerjanya apabila capres lawan itu yang
menang. Nyatanya, ketika berkunjung ke kantornya suatu hari, foto presiden yang
tak didukung itu terpatri di dinding ruang kerjanya.
Dalam peristiwa budaya pun sering kita temukan
suasana semacam ini. Setangguh-tangguhnya kita berada dalam ruang idealis
kebudayaan nasional, kenyataan negeri ini sudah dikepung dengan kebudayaan
asing tanpa batas. Atau, sekuat-kuatnya kita bertahan dalam rumah kebudayaan
lokal (baca : daerah), kenyataan pintu dan jendela kita terbuka lebar akan
kehadiran budaya daerah lain. Tentu, kita takbisa sembarang menyebut kebudayaan
di luar itu sebagai kebudayaan imperialis, di samping karena ketahanan budaya
kita sendiri lemah, ternyata kita juga membutuhkannya.
Sebagai contoh dapat dilihat pada banyak kota
dan kabupaten yang ingin mengembangkan daerahnya sebagai kota modern dan kota
wisata yang dilirik para investor, maka haruslah tersedia infrastruktur
pendukung yang akan menjadi magnet. Tentu akan berimbas pada meningkatkan PAD.
Apa pun lebel kota itu, dari kota bermartabat sampai kota religius, akhirnya
harus bertoleransi dengan hal-hal yang kontradiktif seperti tumbuhnya kehidupan
dunia malam, diskotek, dan bar, yang menyuburkan beredarnya minuman beralkohol
dan narkotika. Dan kita pun harus menelan kenyataan ini.
Ada banyak peristiwa lagi di sekitar kita, di
lingkungan kerja sehari hari, bahkan dalam rumah sendiri, yang bisa dijadikan
contoh bagaimana akhirnya kita harus menerima kenyataan yang takdikehendaki.
Kita sering menyebutnya dengan ‘menelan pil pahit’. Pil yang tetap pahit,
sekali pun tidak berfungsi sebagaimana obat. Mengapa kita mampu menelannya dan
akhirnya bisa menerima? Karena kita tidak menahan pil itu tetap di mulut dan di
lidah sebagai alat perasa, tetapi langsung menelannya hingga ke dalam perut.
Pil itu diolah oleh metabolisme tubuh dan melebur dalam darah yang menjadi
energi baru hidup kita. [ ]