Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 19 November 2016

CERPEN MUFTI UTARA: PROVOKATOR


Video seseorang kentut tersebar di dunia maya. Meski baunya tak tercium, suaranya terdengar begitu nyata, dan kentut itu keluar di tempat yang disakralkan orang berjuta-juta. Penonton menjadi hingar, memicu video itu ditayangkan di televisi berkali-kali. Dan orang-orang merasa jijik, seiring panasnya hati.

Elok nama orang yang kentut itu. Dari penggalan video yang beredar di dunia maya, dia kentut dengan keras dan sengaja. Sementara orang-orang yang di sekitarnya seolah terhipnotis dengan kentut Elok yang merdu. Meski aku tidak sepakat dengan kata “merdu” untuk suara kentut. Tapi memang, menurut sebagian orang, kentut Elok seperti siulan pria lajang yang lagi kasmaran.
Dari sekian banyak orang yang menyaksikan Elok kentut waktu itu, ada seorang lain yang mengekor gerak-geriknya. Namanya Bun Yamin. Orang itu tahu betul dengan kebiasaan Elok yang suka kentut di sembarang tempat. Dan hari itu dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Elok kentut dengan wajah menangadah, seolah dia tak sedang salah, seolah kentut di tengah banyak orang sudahlah lumrah. Seperti biasa, Bun –panggilan Bun Yamin- merekam adegan kentut Elok. Namun, dari kentut-kentut yang sudah direkamnya, kentut Elok yang satu ini terbilang istimewa. Kentut Elok terdengar nyaring, dan dia kentut di tempat yang memicu jutaan pasang mata akan melotot.
Bun tersenyum. Cita-citanya menjadi terkenal akan terwujud. Dulu dia pernah mencoba menjadi penyanyi di sebuah ajang pencarian bakat, tapi tidak tercapai. Konon, dia memiliki napas pendek, sehingga ngos-ngosan kalau bernyanyi dengan ritme yang cepat.
Lain waktu, Bun mencoba mencoba stand-up comedy. Namun lagi-lagi dia tak terpilih sebagai pemenang, bahkan hanya untuk sepuluh besar. Bun tidak seperti komika kebanyakan, dia tak berwajah lucu, dan bertutur secara lucu. Satu hal yang membuat orang tertawa jika Bun beraksi, dia menertawakan ceritanya sendiri.
Bun melakukan segala cara agar dia terkenal, tapi ia tak kunjung terkenal sebagaimana yang dia harapkan. Dalam pikirnnya menjadi terkenal akan mengundang banyak rupiah berdatangan ke kantongnya. Terlebih dia sangat membutuhkan uang setelah rumahnya kena gusur, di bantaran kali. Satu-satunya yang dia punya adalah video perekam yang didapatkannya hasil dari lomba naik pinang 17 Agustus tahun lalu.
Lantas kenapa Elok yang menjadi sasaran? Eloklah yang menyuruh meruntuhkan rumahnya demi kebersihan lingkungan kelurahan. Mendengar alasan itu Bun merasa dirinya kotor.
Dendam itu-lah yang membuatnya mengekor kemana pun Elok bepergian. Dia tahu dia bisa saja menikam Elok kapan waktu. Tapi tidak, Bun menyadari tubuh kurusnya akan sulit beradu otot dengan pengawal Elok yang bertubuh besi. Dan jika pun dendamnya lunas, tentu dia akan dikeroyok dengan pukulan tinju penuh murka berkali-kali.
“Aku mungkin memang pendek bernapas, tapi tidak untuk berpikir,” ujar Bun ketika menemuiku.
“Lalu apa maumu?” aku menelisik untuk apa dia membangunkan malam-malam.
“Aku mau kau melihat ini.” Bun menyerahkah sebuah rekaman yang mengembangkan senyum. Lantas terbayang di pikiranku alat perekam itu berubah menjadi bom atom dan meledakkan hati para orang yang melihatnya.
Aku ternganga sejenak membayangkan bom atom itu meledak. Abunya berhamburan bagi orang-orang, tapi tidak bagiku dan Bun, itu seperti sebuah kembang api yang mekar menghiasi malam-malam gelap kami.
Aku tertawa lepas, setelah tak tertawa bertahun-tahun. Melihat aku tertawa Bun tertawa keras. Dia seperti badut yang menertawakan dirinya sendiri, dan aku kembali tertawa tapi tak menertawakan kentut Elok, tapi menertawakan tertawanya Bun. Dan bisa jadi, Bun juga menertawakanku. Tengah malam itu kami tertawa sehabisnya, tanpa peduli ada yang menyebut kami gila.
Esok harinya, meledaklah kentut Elok di dunia maya. Video yang sengaja diunggah Bun itu ramai dikunjungi. Seperti yang kami tebak, jutaan mata melotot panas, dan mencibir keji pada Elok yang pantas untuk diolok-olok.
Ramainya pembicaraan orang tentang kentut Elok membuat video itu menjadi berita utama di banyak televisi. Orang-orang geram dengan Elok. Mereka mengatakan Elok tak patut kentut di tengah banyak orang seperti itu. Sejumlah analisa dari pakar menguatkan kalau Elok “kurang ajar”. Bahkan pakar psikologi mengatakan Elok sakit jiwa karena kentut di tengah banyak orang dengan wajah menyebalkan.
Elok pun dilaporkan ke Polisi oleh banyak organisasi karena telah berbuat tak pantas. Polisi tak gegabah. Mereka mencari siapa penyulut kemarahan itu, dan ditemukan-lah Bun. Saat dimintai kesaksian Bun menjelaskan dengan wajah sumringah, dendamnya sebentar lagi akan lunas.
“Aku kerap melihat dia kentut seperti itu,” ujar Bun sembari menunjukkan video-videonya yang lain. “Untuk memberikan efek jera, maka Aku unggah saja video itu di dunia maya.”
“Atas perbuatan anda ini, anda bisa saja dijadikan tersangka dengan kasus berbeda, dan kemudian dijebloskan penjara,” ungkap Polisi gendut dengan memelintir kumisnya.
“Tidak apa-apa,” Bun menjawab tanpa ketakutan.
“Kenapa kau tidak takut penjara?” kejar Polisi.
“Karena itu memang resikonya.”
Polisi terus menanyai Bun. Dia mulai tertarik dengan kesungguhan lelaki kurus itu untuk memberikan efek jera pada Elok yang kerap kentut di tengah umum tanpa wajah bersalah.
Sementara, kasus Elok seperti bola salju yang terus membesar. Kehati-hatian Polisi menyelidiki masalah itu malah berbuntut anggapan, kalau Polisi tidak tanggap dengan laporan, dan seakan-akan menyepelekan tuntutan yang diminta banyak orang.
Makin lama, makin riuh. Jutaan orang akan menggelar demo besar-besaran menuntut Elok dipenjarakan akibat tingkah kurang ajarnya, kentut di tengah umum. Rencana demo itu pun membuat orang-orang besar saling tuding. Siapa di balik demo besar yang mungkin saja menjadi amuk besar itu.
Mereka mungkin mengira, saingan Elok menjadi lurahlah pelakunya. Membayangkan pendapat itu aku tertawa. Pakar politik pasti akan mengira seperti itu. Setiap kejadian dikacamatai dengan kewaspadaan atau keburuksangkaan. Dan tentunya mereka tidak akan ikut demo, hanya mengomentari, yang mungkin sembari kentut berkali-kali.
Ah, asyik sekali rasanya membayangkan jutaan orang membicarakan video itu. Bun benar-benar menjadi terkenal sekarang. Di media sosial orang berdebat hebat tentang kentut Elok. Tentu saja pro-kontra mesti ada. Ada yang sok bijak menanggapi, ada pula yang sok suci. Kalau menurutku, tergantung niat mereka. Jika demi peradaban, sah-sah saja. Pun demikian bagi mereka yang memilih tak ikut-ikutan karena menilai itu bagian dari oknum politik yang memanfaatkan. Tapi mungkin, pendapat terakhir karena alasan pengalaman.
“Saya beradab. Dan saya tidak turun ke jalan,” tulis seseorang di akun media sosialnya. Aku perhatikan orangnya dan teringat, dia juga terekam pernah kentut oleh Bun. Tapi karena dia bukan tokoh yang membuat Bun terkenal, maka kami abaikan saja videonya.
Makin lama, kegaduhan tentang kentut makin meriah ketika acara-acara televisi mengulas kentut Elok dengan kacamata keberadaban. Hingga menurut hukum yang mereka yakini, Elok mestinya meminta maaf dan disumpal lubang pantatnya agar dia tak lagi kentut atau dikeluarkan dari kelurahan yang kini dia kuasai. Malang sekali Elok.
***
Menjelang hari demo besar-besaran itu, Saya dan Bun beberapa kali mengadakan rapat kecil-kecilan. Uang yang kami punya cukup untuk membayar preman-preman untuk menyusup dan memicu keonaran. Preman-preman itu sebenarnya mau melakukan dengan sukarela untuk kami, tapi kami tetap memberikan imbalan meski hanya dengan sebungkus nasi.
Tapi malangnya, orang-orang yang beradab itu demo dengan demikian tertib. Tak ada kerusuhan hingga pukul 18.00 Wib, yang berarti masa waktu demo mesti berakhir. Saya berulang kali menghubungi rekan-rekan preman sembari melihat demo itu di televisi. Namun sebagian mereka tertangkap, karena ketahuan menjadi biang kericuhan. Ah sial.
Massa demo pun bubar, meninggalkan ribuan yang kokoh meminta bertemu dengan Camat. Namun Camat tak kunjung keluar, hanya ajudannya yang dikawal beberapa hansip dan polisi. Konon menurut penuturan pembaca berita di televisi, Camat telah lama pergi. Mungkin pergi melarikan diri, karena Elok adalah saudaranya sendiri. Meski, saudara tiri.
Demo sudah keluar waktu, tapi orang-orang beradab itu tak juga mau rusuh. Mereka malah menggelar ceramah di jalan-jalan. Ah, kami mulai kehabisan akal. Kami bisikan kata-kata kepada pendemo dari luar kota, “Ngapain kamu jauh-jauh kalau hanya damai, mendingan lempar batu atau air mineral ke wajah polisi.” Dan kalimat itu tak mempan, mereka memang beradab.
Kami berinisiatif lain, kami tak lagi menggoda pendemo. Kami datangi penjaga keamanan, dan membisikkan kepada mereka, “Pak, para pendemo ini tidak akan pulang kalau tidak diusir. Kalau pinta mereka selalu diaminkan, mereka akan minta yang macam-macam. Dan itu tidak akan selesai. Usir saja mereka.”
Rupanya penjaga keamanan merespon, mereka menembakkan gas air mata ke arah pendemo. Namun, orang-orang beradab itu tidak juga membuat onar, hingga preman-preman kami yang menyusup berkumpul dan memukuli penjaga keamanan. Dan rusuh.
***
Aku tahu. Lama kelamaan, Bun juga angkat bicara tentang siapa aku. Mungkin saat itu preman-preman kami sudah ada di penjara, juga Elok dan Bun. Akhirnya, kami dapat kediaman setelah sekian lama tidur menggelandang akibat penggusuran. Dan kebahagiaan yang tak terperi adalah kami berhasil mengusir Elok dari rumah mewahnya. Sebab bagi kami yang kotor ini, kebersihan lingkungan tidak saja dilihat dari tampak lahir, tetapi juga etika bertoleransi. Elok telah mencoreng toleransi dengan kentut di tengah umum, lebih-lebih di atas kitab suci.
Menunggu datangnya polisi, kubuatkan sebuah –yang entah apakah itu- puisi:

Di papan catur, pion berhamburan
Mentri saling hujat
Kuda plin-plan
Ratu kentut, sembunyi takut
Semoga, pion tak lekas jadi mentri
Dan skak, mengadili [ ]


6 November 2016



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter