Video seseorang kentut tersebar di dunia
maya. Meski baunya tak tercium, suaranya terdengar begitu nyata, dan kentut itu
keluar di tempat yang disakralkan orang berjuta-juta. Penonton menjadi hingar,
memicu video itu ditayangkan di televisi berkali-kali. Dan orang-orang merasa
jijik, seiring panasnya hati.
Elok nama orang yang kentut itu. Dari
penggalan video yang beredar di dunia maya, dia kentut dengan keras dan
sengaja. Sementara orang-orang yang di sekitarnya seolah terhipnotis dengan
kentut Elok yang merdu. Meski aku tidak sepakat dengan kata “merdu” untuk suara
kentut. Tapi memang, menurut sebagian orang, kentut Elok seperti siulan pria
lajang yang lagi kasmaran.
Dari sekian banyak orang yang menyaksikan
Elok kentut waktu itu, ada seorang lain yang mengekor gerak-geriknya. Namanya Bun
Yamin. Orang itu tahu betul dengan kebiasaan Elok yang suka kentut di sembarang
tempat. Dan hari itu dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Elok kentut dengan wajah menangadah, seolah
dia tak sedang salah, seolah kentut di tengah banyak orang sudahlah lumrah.
Seperti biasa, Bun –panggilan Bun Yamin- merekam adegan kentut Elok. Namun,
dari kentut-kentut yang sudah direkamnya, kentut Elok yang satu ini terbilang
istimewa. Kentut Elok terdengar nyaring, dan dia kentut di tempat yang memicu
jutaan pasang mata akan melotot.
Bun tersenyum. Cita-citanya menjadi terkenal
akan terwujud. Dulu dia pernah mencoba menjadi penyanyi di sebuah ajang
pencarian bakat, tapi tidak tercapai. Konon, dia memiliki napas pendek,
sehingga ngos-ngosan kalau bernyanyi
dengan ritme yang cepat.
Lain waktu, Bun mencoba mencoba stand-up
comedy. Namun lagi-lagi dia tak terpilih sebagai pemenang, bahkan hanya untuk
sepuluh besar. Bun tidak seperti komika kebanyakan, dia tak berwajah lucu, dan
bertutur secara lucu. Satu hal yang membuat orang tertawa jika Bun beraksi, dia
menertawakan ceritanya sendiri.
Bun melakukan segala cara agar dia terkenal,
tapi ia tak kunjung terkenal sebagaimana yang dia harapkan. Dalam pikirnnya
menjadi terkenal akan mengundang banyak rupiah berdatangan ke kantongnya.
Terlebih dia sangat membutuhkan uang setelah rumahnya kena gusur, di bantaran
kali. Satu-satunya yang dia punya adalah video perekam yang didapatkannya hasil
dari lomba naik pinang 17 Agustus tahun lalu.
Lantas kenapa Elok yang menjadi sasaran?
Eloklah yang menyuruh meruntuhkan rumahnya demi kebersihan lingkungan kelurahan.
Mendengar alasan itu Bun merasa dirinya kotor.
Dendam itu-lah yang membuatnya mengekor
kemana pun Elok bepergian. Dia tahu dia bisa saja menikam Elok kapan waktu.
Tapi tidak, Bun menyadari tubuh kurusnya akan sulit beradu otot dengan pengawal
Elok yang bertubuh besi. Dan jika pun dendamnya lunas, tentu dia akan dikeroyok
dengan pukulan tinju penuh murka berkali-kali.
“Aku mungkin memang pendek bernapas, tapi
tidak untuk berpikir,” ujar Bun ketika menemuiku.
“Lalu apa maumu?” aku menelisik untuk apa dia
membangunkan malam-malam.
“Aku mau kau melihat ini.” Bun menyerahkah
sebuah rekaman yang mengembangkan senyum. Lantas terbayang di pikiranku alat
perekam itu berubah menjadi bom atom dan meledakkan hati para orang yang
melihatnya.
Aku ternganga sejenak membayangkan bom atom
itu meledak. Abunya berhamburan bagi orang-orang, tapi tidak bagiku dan Bun,
itu seperti sebuah kembang api yang mekar menghiasi malam-malam gelap kami.
Aku tertawa lepas, setelah tak tertawa
bertahun-tahun. Melihat aku tertawa Bun tertawa keras. Dia seperti badut yang
menertawakan dirinya sendiri, dan aku kembali tertawa tapi tak menertawakan
kentut Elok, tapi menertawakan tertawanya Bun. Dan bisa jadi, Bun juga
menertawakanku. Tengah malam itu kami tertawa sehabisnya, tanpa peduli ada yang
menyebut kami gila.
Esok harinya, meledaklah kentut Elok di dunia
maya. Video yang sengaja diunggah Bun itu ramai dikunjungi. Seperti yang kami
tebak, jutaan mata melotot panas, dan mencibir keji pada Elok yang pantas untuk
diolok-olok.
Ramainya pembicaraan orang tentang kentut
Elok membuat video itu menjadi berita utama di banyak televisi. Orang-orang
geram dengan Elok. Mereka mengatakan Elok tak patut kentut di tengah banyak
orang seperti itu. Sejumlah analisa dari pakar menguatkan kalau Elok “kurang ajar”.
Bahkan pakar psikologi mengatakan Elok sakit jiwa karena kentut di tengah
banyak orang dengan wajah menyebalkan.
Elok pun dilaporkan ke Polisi oleh banyak
organisasi karena telah berbuat tak pantas. Polisi tak gegabah. Mereka mencari
siapa penyulut kemarahan itu, dan ditemukan-lah Bun. Saat dimintai kesaksian
Bun menjelaskan dengan wajah sumringah, dendamnya sebentar lagi akan lunas.
“Aku kerap melihat dia kentut seperti itu,”
ujar Bun sembari menunjukkan video-videonya yang lain. “Untuk memberikan efek
jera, maka Aku unggah saja video itu di dunia maya.”
“Atas perbuatan anda ini, anda bisa saja
dijadikan tersangka dengan kasus berbeda, dan kemudian dijebloskan penjara,”
ungkap Polisi gendut dengan memelintir kumisnya.
“Tidak apa-apa,” Bun menjawab tanpa
ketakutan.
“Kenapa kau tidak takut penjara?” kejar
Polisi.
“Karena itu memang resikonya.”
Polisi terus menanyai Bun. Dia mulai tertarik
dengan kesungguhan lelaki kurus itu untuk memberikan efek jera pada Elok yang
kerap kentut di tengah umum tanpa wajah bersalah.
Sementara, kasus Elok seperti bola salju yang
terus membesar. Kehati-hatian Polisi menyelidiki masalah itu malah berbuntut
anggapan, kalau Polisi tidak tanggap dengan laporan, dan seakan-akan
menyepelekan tuntutan yang diminta banyak orang.
Makin lama, makin riuh. Jutaan orang akan
menggelar demo besar-besaran menuntut Elok dipenjarakan akibat tingkah kurang
ajarnya, kentut di tengah umum. Rencana demo itu pun membuat orang-orang besar
saling tuding. Siapa di balik demo besar yang mungkin saja menjadi amuk besar
itu.
Mereka mungkin mengira, saingan Elok menjadi
lurahlah pelakunya. Membayangkan pendapat itu aku tertawa. Pakar politik pasti
akan mengira seperti itu. Setiap kejadian dikacamatai dengan kewaspadaan atau
keburuksangkaan. Dan tentunya mereka tidak akan ikut demo, hanya mengomentari,
yang mungkin sembari kentut berkali-kali.
Ah, asyik sekali rasanya membayangkan jutaan
orang membicarakan video itu. Bun benar-benar menjadi terkenal sekarang. Di
media sosial orang berdebat hebat tentang kentut Elok. Tentu saja pro-kontra
mesti ada. Ada yang sok bijak menanggapi, ada pula yang sok suci. Kalau menurutku,
tergantung niat mereka. Jika demi peradaban, sah-sah saja. Pun demikian bagi
mereka yang memilih tak ikut-ikutan karena menilai itu bagian dari oknum
politik yang memanfaatkan. Tapi mungkin, pendapat terakhir karena alasan
pengalaman.
“Saya beradab. Dan saya tidak turun ke
jalan,” tulis seseorang di akun media sosialnya. Aku perhatikan orangnya dan
teringat, dia juga terekam pernah kentut oleh Bun. Tapi karena dia bukan tokoh
yang membuat Bun terkenal, maka kami abaikan saja videonya.
Makin lama, kegaduhan tentang kentut makin
meriah ketika acara-acara televisi mengulas kentut Elok dengan kacamata
keberadaban. Hingga menurut hukum yang mereka yakini, Elok mestinya meminta
maaf dan disumpal lubang pantatnya agar dia tak lagi kentut atau dikeluarkan
dari kelurahan yang kini dia kuasai. Malang sekali Elok.
***
Menjelang hari demo besar-besaran itu, Saya
dan Bun beberapa kali mengadakan rapat kecil-kecilan. Uang yang kami punya
cukup untuk membayar preman-preman untuk menyusup dan memicu keonaran.
Preman-preman itu sebenarnya mau melakukan dengan sukarela untuk kami, tapi
kami tetap memberikan imbalan meski hanya dengan sebungkus nasi.
Tapi malangnya, orang-orang yang beradab itu
demo dengan demikian tertib. Tak ada kerusuhan hingga pukul 18.00 Wib, yang
berarti masa waktu demo mesti berakhir. Saya berulang kali menghubungi
rekan-rekan preman sembari melihat demo itu di televisi. Namun sebagian mereka
tertangkap, karena ketahuan menjadi biang kericuhan. Ah sial.
Massa demo pun bubar, meninggalkan ribuan
yang kokoh meminta bertemu dengan Camat. Namun Camat tak kunjung keluar, hanya
ajudannya yang dikawal beberapa hansip dan polisi. Konon menurut penuturan
pembaca berita di televisi, Camat telah lama pergi. Mungkin pergi melarikan
diri, karena Elok adalah saudaranya sendiri. Meski, saudara tiri.
Demo sudah keluar waktu, tapi orang-orang
beradab itu tak juga mau rusuh. Mereka malah menggelar ceramah di jalan-jalan.
Ah, kami mulai kehabisan akal. Kami bisikan kata-kata kepada pendemo dari luar
kota, “Ngapain kamu jauh-jauh kalau hanya damai, mendingan lempar batu atau air
mineral ke wajah polisi.” Dan kalimat itu tak mempan, mereka memang beradab.
Kami berinisiatif lain, kami tak lagi
menggoda pendemo. Kami datangi penjaga keamanan, dan membisikkan kepada mereka,
“Pak, para pendemo ini tidak akan pulang kalau tidak diusir. Kalau pinta mereka
selalu diaminkan, mereka akan minta yang macam-macam. Dan itu tidak akan
selesai. Usir saja mereka.”
Rupanya penjaga keamanan merespon, mereka
menembakkan gas air mata ke arah pendemo. Namun, orang-orang beradab itu tidak
juga membuat onar, hingga preman-preman kami yang menyusup berkumpul dan
memukuli penjaga keamanan. Dan rusuh.
***
Aku tahu. Lama kelamaan, Bun juga angkat
bicara tentang siapa aku. Mungkin saat itu preman-preman kami sudah ada di
penjara, juga Elok dan Bun. Akhirnya, kami dapat kediaman setelah sekian lama
tidur menggelandang akibat penggusuran. Dan kebahagiaan yang tak terperi adalah
kami berhasil mengusir Elok dari rumah mewahnya. Sebab bagi kami yang kotor
ini, kebersihan lingkungan tidak saja dilihat dari tampak lahir, tetapi juga
etika bertoleransi. Elok telah mencoreng toleransi dengan kentut di tengah
umum, lebih-lebih di atas kitab suci.
Menunggu datangnya polisi, kubuatkan sebuah
–yang entah apakah itu- puisi:
Di papan
catur, pion berhamburan
Mentri
saling hujat
Kuda
plin-plan
Ratu kentut,
sembunyi takut
Semoga, pion
tak lekas jadi mentri
Dan skak,
mengadili [ ]
6 November 2016