Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 24 Desember 2016

CERPEN ASEP FAUZI: MEMBUNUH MASA LALU


Sebenarnya, Edy suka-suka saja jika ia bertemu dengan teman-teman lamanya yang sudah menyandang berbagai profesi. Entah saat dalam pelatihan kurikulum di beberapa hotel di Banjarmasin, saat mendampingi anak didiknya lomba baca puisi di Jakarta, saat ia menjadi juri lomba menulis cerpen tingkat propinsi, saat mengunjungi pameran pembangunan dalam rangka ulang tahun Kotabaru, atau ketika ia sekadar jalan-jalan ke Pasar Subuh Kemakmuran.
Termasuk sore ini di taman kota, saat dia tengah duduk di salah satu kursi yang didesain sedemikian rupa, menikmati novel teranyarnya Tere Liye dengan belaian angin yang telah memasuki musim hujan, terasa nikmat tiada bandingannya, Edy bertemu dengan masa lalunya.
Dan untuk pertama kalinya ia mengutuk pertemuan dengan teman yang telah terpisah belasan tahun lamanya itu, tapi juga senang, tapi juga…ah, Edy mengumpat kepada dirinya sendiri yang tidak tahu sama sekali bagaimana seharusnya ia bersikap dengan pertemuan itu.
“Anda Edy Rakhmadi, bukan?” kata seorang perempuan tinggi ramping berkerudung segi empat berwarna biru muda dengan seragam hitam putih, yang tidak disadari Edy telah berdiri di hadapannya sambil memegang tas ransel kecil bergambar karakter kartun Frozen. Edy menaksir, perempuan yang memakai sepatu berwarna hitam dengan hak agak tinggi ini seusianya, sekitar dua puluh enam tahunan.
“Iya.Ibu kenal saya?”Edy memicingkan matanya yang entah sudah berapa minus matanya sekarang. Terakhir saat kuliah dia pernah memakai kacamata.Namun, tidak lagi lantaran selalu tertinggal, terutama di tempat wudhu. Edy meletakkan pembatas buku di halaman 76 novel yang tengah dibacanya sambil mengingat-ingat, siapa gerangan perempuan ini?
“Anda pernah sekolah di SD Negeri 1 Baharu Utara, bukan?”
Edy mendengus, ada apa dengan perempuan ini, ditanya malah membuat tanda tanya di benaknya kian bertambah.Masa merah putih? Ah, begitu banyak kenangan di masa-masa itu. Jlep…. Tiba-tiba ada yang menghujam ingatannya. Edy pandangi lekat-lekat perempuan itu yang masih menanti jawabannya. Antusias sekali perempuan ini, pikir Edy.Apakah dia ini perempuan yang pernah dia cari selama sekolah menengah dan kuliah dulu? Namun tidak lagi dia berusaha mencarinya, dan kini dia ada di hadapannnya. Oh, jika dijejaki dengan seksama, wajah ini memang pernah akrab dengannya belasan tahun yang lalu. Edy melihat cara senyum perempuan di hadapannya itu, khasnya adalah mata perempuan yang memang agak sipit, ketika tersenyum semakin menyipit. Jika memang benar perempuan ini adalah dia, kuat juga ingatannya, pikir Edy.
“Iya, saya Ratmi. Apa masih ingat?” Perempuan itu seakan dapat membaca raut wajah Edy.
“Oh, Ratmi. Iya, ingat…ingat. Teman saat kelas empat dulu’kan?” Padahal Edy sangat antusias, memuncah-muncah bahkan. Andai ia mau menuruti perasaannya, dia ingin sekali tertawa keras-keras dan melempari perempuan ini dengan banyak pertanyaan: Kemana saja kau selama ini? Masihkah kau simpan surat dariku? Bagaimana sekarang kau, maksudnya masih sendiri atau?
“Apa kabar, Bu Ratmi?” Pada akhirnya itu yang keluar dari mulut Edy. Ia merasa kaku sekali dengan sapaan ‘Bu, Pak, dan Anda’.
“Saya baik. Pak Edy gimana juga?”
“Baik juga.”
Hening.
Untuk sekian kalinya, kembali Edy menyumpahi dirinya, mengapa dia jadi gagap begini? Dia alihkan sekilas pandangannya ke sekitar taman kota ini, para penjual bakso goreng, penjual aneka es, dan pengunjung yang sekadar berjalan-jalan mulai merayapi tempat ini.
“Azkia, hati-hati! Jangan lari!” Ratmi berteriak kepada seorang anak berperawakan gendut, berkulit putih, dengan rambut keriting yang tergerai dijilati angin sore yang tengah menikmati ruang terbuka taman ini sambil sesekali menaiki permainan perosotan. Usianya kira-kira empat tahun. Sesekali anak yang dipanggil Azkia itu mendekat meminta minum yang diambil dari tas yang dipegang Ratmi, wajahnya penuh keringat, lalu lari lagi mengitari seluruh bagian-bagian taman. Edy sudah menebak siapa bocah perempuan itu, tapi dia malas memastikannya kepada Ratmi. Edy mengatakan ‘halo’ dan mendadahi anak itu.
“Kapan pulang dari Bandung?” Ratmi kembali membuka pembicaraan.
“Saya sudah lama tidak ke sana. Meskipun di sana lebih segala-galanya, tapi karena saya lahir di Kota Bamega ini, jadi lebih betah di sini. Apalagi sejak beberapa bulan yang lalu, nenek, saya ajak tinggal di sini.”
“Bukannya dulu saat pindah sekolah, Anda pulang ke Bandung untuk selama-lamanya? Surat Anda masih saya simpan.” Oh, akhirnya perempuan itu dengan cepat menyinggung tentang surat itu. Namun, kening Edy mengerut. Dia bingung. Edy memang pernah menitipkan surat kepada Anwar untuk menyampaikannya kepada Ratmi, tapi seingatnya, isinya bukan tentang kepulangannya ke Kota Kembang, apalagi untuk selama-lamanya. Ya, dia tidak mungkin salah ingat.
“Seingat saya, surat yang saya titipkan melalui Anwar, isinya bahwa saya pindah ke Bakau. Karena ayah saya pindah tugas sebagai kepala sekolah di sana,” papar Edy. Ada gurat keterkejutan yang tertangkap oleh Edy di wajah Ratmi. “Tapi sudahlah, toh itu hanya masa lalu, bukan? Hehe.” Edy berusaha memecah kekikukan yang sangat dibencinya itu.
“Tapi aku sangat terkesan dengan pertemanan masa kecil kita itu, Dy.” Akhirnya Ratmi memanggil namanya, bukan dengan sebutan ‘Pak’ dan tidak juga menggunakan kata ‘saya’ lagi.
Padahal,jika boleh jujur, mungkin lebih dalam yang Edy rasakan kesan pertemanaan yang pernah dijalani dengan perempuan yang kini kulitnya lebih putih ketimbang belasan tahun yang lalu agak kecokelatan karena terlalu sering Edy ajak mancing dan menyusuri sungai Jalan Bima. Sampai-sampai Edy mengabadikan masa kecil mereka dengan membuatnya menjadi sebuah cerita pendek, yang bisa ia baca beribu-ribu kali tanpa jenuh. Kapan saja ia menginginkannya. Ya, itu adalah bukti betapa ia sangat terkesan dengan persahabatan masa kecilnya bersama Ratmi.
“Aku kira, malah kamu yang pulang ke Surabaya, Mi. Aku sempat mencarimu saat SMA, bahkan hingga kuliah,” kata Edy mulai berani dengan sapaan yang lebih santai. Namun, mengapa wajah temannya itu menjadi murung dan terlihat memerah marah.
“Padahal aku tidak pernah pindah juga dari kota ini hingga kini, Dy…. Mungkinkah Anwar menulis surat ulang atas namamu itu, dengan isi yang berbeda? Hingga pada akhirnya aku terima lamaran Anwar dan menikah dengannya empat tahun yang lalu.”
Seperti ada sembilu yang mengganyang hati Edy. Dia memejamkan matanya. “Hei, itu masa lalu, kawan!” Umpatnya dalam hati. Tuhan memang penentu segalanya. Bagaimana pun kerasnya dulu usaha Edy mencari jejak sahabat kecilnya itu selama bertahun-tahun lamanya sejak ayahnya kembali bertugas di Kotabaru, dan mereka sama-sama tinggal di kota kecil ini, bahkan mereka sudah mengunjungi taman ini ratusan kali. Namun, mungkin Tuhan berkehendak bahwa hari ini mereka baru harus bertemu.
Edy tidak ingin memperbesar pembahasan tentang kecurigaan Ratmi dengan apa yang dilakukan oleh Anwar terhadap surat yang dititipkannya tempo hari. Lucu juga jika dia mengingatnya, saat dulu Anwar pernah marah-marah dan melarangnya bermain dengan Ratmi. Mungkinkah, Anwar? Ah, mengapa juga ia ikut-ikutan Ratmi mencurigai Anwar yang kini ia anggap lebih beruntung darinya, karena telah mempersunting sahabat kecilnya itu.
Hampir jam enam sore, tanpa sama-sama mengerti kesimpulan dari pertemuan itu, akhirnya mereka berpisah dan mengakhirinya dengan bertukar kontak. Hal yang tidak bisa mereka lakukan saat dulu masa putih merah, zaman yang masih mengandalkan surat menyurat dan pesan mulut.
***
“Jadi hidupmu kini hanya dengan buku, Edy?” Suara Ratmi menyadarkan Edy yang tengah mengunyah kata-kata yang dirangkai oleh Eka Kurniawan. Ini adalah pertemuan mereka untuk kedua kalinya setelah beberapa hari yang lalu. Sebenarnya Ratmi selalu mengajak Edy bertemu di Ice Cream 77 yang berada di Jalan Veteran, karena Azkia suka sekali makan ice cream, katanya.
Ratmi juga sering sekali mengiriminya pesan singkat, seolah mengajak mengenang masa-masa kecil dulu: mengerjakan Pekerjaan Rumah, menapaki setiap gang yang ada di Desa Baharu Utara, memanjat pohon rambutan, mencari mangga yang jatuh di kebun tetangga, apa saja yang bisa membuat Edy dan Ratmi kecil senang.
Namun, Edy harus sadar bahwa kini semuanya telah berbeda, sahabat kecilnya itu kini telah bersuami dan memiliki anak perempuan yang teramat lucu dan aktif. Sehingga ia terus berusaha untuk menolak sehalus mungkin, agar Ratmi tidak tersinggung dan berharap suatu saat Ratmi menyadari kondisi mereka saat ini.
Edy memicingkan mata, memastikan perempuan yang kini seakan tiba-tiba hadir di hadapannya itu benar adalah Ratmi, kemudian terkekeh. Edy lihat, tak jauh dari kursinya tempatnya duduk, Azkia tengah menikmati ice cream cokelat, sedang tangan kirinya memegang balon berwarna merah muda berbentuk karakter Hello Kitty. Oh, lihat, wajah cubby itu blepotan!
“Beginilah hidupku, Ratmi. Tapi kau tidak perlu meragukan aku normal atau tidaknya sebagai lelaki,” Edy kembali terkekeh. “Tiga minggu yang lalu, aku sudah berusaha melamar seorang gadis. Hanya saja, Tuhan sepertinya belum percaya kepada temanmu ini untuk membimbing seorang istri. Orangtuanya tak yakin, bahwa kata-kata yang kurangkai dapat membuat anak gadis mereka hidup bahagia.”
Edy telah jujur. Meskipun itu kali pertama ia putuskan untuk melamar seorang gadis. Sebelumnya, selama bertahun-tahunia sengaja menenggelamkan diri dengan buku-buku, menulis, dan membangun lembaga-lembaga pendidikan bersama teman-temannya untuk menyalurkan keputusasaannya karena tidak berhasil menemukan Ratmi, masa lalunya yang terlalu membekas di dalam hatinya.
Edy menerima sebotol air mineral yang disodorkan Ratmi dan mengucapkan terima kasih. Lalu wanita itu duduk di kursi panjang di hadapannya, bersisian dengan Azkia.Namun, mengapa wajah wanita itu kembali murung? Ah, padahal awan hitam yang menggantung di Bumi Saijaan sore ini sudah cukup membuat suasananya terasa berbeda dari biasanya.
“Beberapa malam yang lalu aku bertengkar dengan Mas Anwar, Edy. Aku menanyakan tentang surat yang kau titipkan kepadanya tempo hari. Aku katakan kepadanya bahwa aku telah bertemu denganmu lagi. Dia terlihat sangat terkejut dan salah tingkah. Dia bilang, itu masa lalu dan dia tidak ingin mengingat-ingatnya lagi,” kata perempuan itu, semakin sendu saja wajahnya.Sedang Edy tak percaya bahwa teman masa kecilnya ituserius mengorek-korek tentang masa lalunya kepada suaminya.
“Anwar benar Mi, kau tidak seharusnya mengungkit-ungkit kembali masa lalu kita. Toh, itu hanya masa kecil, hehe.” Edy merasa itulah yang harus dikatakannya.
’Toh’ dan ‘hanya’ katamu, Edy?” wajahnya tidak terima, seakan wajah Ratmi berkata, ‘kau tidak mengerti betapa masa kecil kita itu sangat berarti bagiku,Edy!’
Edy bingung. Tuhan, andai saja pertemuannya dengan Ratmi tidak dalam kondisi seperti ini. Pasti kisahnya tidak semiris saat ini. Sia-sia saja berandai-andai, umpatnya lagi pada dirinya sendiri. Hening. Edy tidak tahu harus menjawab apa.
“Oh, jadi ini yang kalian lakukan di belakangku. Apa kabar, Edy? Lama sekali kita tidak bertemu. Tapi aku bersyukur bahwa Tuhan mengabulkan doaku untuk menunda pertemuan ini, terutama pertemuan kalian.”
Abah!pekik Azkia, lalu menghambur kepada ayahnya, Anwar. Edy terkejut. Tapi Ratmi, lihat wajah itu, biasa saja dia melihat kedatangan suaminya yang sudah dilahap api cemburu itu!
“Baik,” desis Edy, “Tapi ini tidak seperti yang kau kira, Anwar. Kami tidak sengaja bertemu di sini.”
“Edy, kau harus sadar, sekarang akulah suaminya! Kau hanya masa lalunya, bahkan masa lalu waktu kecilnya. Ya, meski akulah yang telah memusnahkan suratmu dulu Edy dan mengganti isinya. Tapi semuanya aku lakukan karena aku sangat menyukainya, mencintaimu Ratmi. Setelah lulus SD hingga kuliah aku selalu berusaha untuk satu sekolah dan sekampus denganmu, Ratmi. Kalian harus sadar, saat ini semuanya sudah berbeda.”
Hening. Tetapi tidak dengan wajah Ratmi yang memanas. Lihat, matanya seakan memancarkan kobaran api!“ Lalu, kau pikir aku akan rela melanjutkan kebohongan ini, Mas? Tidak! Kau telah membohongi pertemanan kita hingga pada akhirnya kita menikah. Aku ingin kita akhiri kebohongan yang telah berkarat ini, Mas. Ceraikan aku, Anwar!” Edy semakin tidak habis pikir. Bisa-bisanya Ratmi mengatakan hal itu, hanya karena kebohongan bocah dan kenangan di masa kecil mereka.
“Kau sudah gila Ratmi! Ingat, kita sudah punya Azkia,” tantang Anwar.
“Dia termasuk bagian hasil kebohonganmu, Mas. Kau pikir aku tidak mampu membesarkannya tanpamu, hah?” Sebenarnya, yang menyakitkan Ratmi bukan hanya sekadar masa lalu yang telah sengaja dihilangkan oleh Anwar, suaminya. Tetapi kebohongan berlandaskan cinta itulah yang lebih membuatnya pedih.
Ratmi melemparkan tatapannya kepada Edy dengan penuh harap. Namun, Edy hanya bisa menarik napas bingung dan meninggalkan mereka yang selanjutnya terus saling berlomba ingin didengar dan dipahami, sudah banyak mata pengunjung lain yang menatap mereka. Edy merasa ini adalah urusan rumah tangga mereka.
Namun, ketika langkahnya mulai menjauh, tiba-tiba tubuhnya kembali berbalik saat ia dengar orang-orang berteriak histeris termasuk suara mungil Azkia. Edy lihat, tangan Ratmi bergetar memegang pisau yang telah berlumuran darah. Sedangkan di hadapannya, Anwar tengah melawan rasa sakit di perut sebelah kanannya.
Seperti gunung yang meletus, Ratmi menumpahkan kemarahannya,“ Dari kemarin aku menunggu saat-saat ini, Mas. Bahkan kau sangat bangga dengan kebohongan yang telah kau buat belasan tahun lamanya.”
Sebegini besarnyakah seorang perempuan memperlakukan masa lalu? Edy berlari untuk menenangkan Ratmi dan memeluk Azkia yang terlihat sangat syok. Mulut Edy juga telah bersiap untuk berteriak meminta tolong untuk Anwar yang kini tengah terkapar.

Kotabaru, 15-16 Mei 2016

BIODATA:
Asep Fauzi. Penulis yang lahir dan menetap di Kotabaru, Kalimantan Selatan.Puluhan cerpennya telah dipublikasikan di KoranRadar Surabaya, Media Kalimantan, RadarBanjarmasin, BanjarmasinPost, Mata Banua, Majalah Serambi Ummah dan di sejumlah buku antologi bersama.Buku kumpulan cerpen solo perdananya berjudul “Ziarah Debu” (2016).



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter