Sebenarnya,
Edy suka-suka saja jika ia bertemu dengan teman-teman lamanya yang sudah
menyandang berbagai profesi. Entah saat dalam pelatihan kurikulum di beberapa
hotel di Banjarmasin, saat mendampingi anak didiknya lomba baca puisi di Jakarta,
saat ia menjadi juri lomba menulis cerpen tingkat propinsi, saat mengunjungi
pameran pembangunan dalam rangka ulang tahun Kotabaru, atau ketika ia sekadar jalan-jalan
ke Pasar Subuh Kemakmuran.
Termasuk sore ini di taman kota, saat dia tengah
duduk di salah satu kursi yang didesain sedemikian rupa, menikmati novel
teranyarnya Tere Liye dengan belaian angin yang telah memasuki musim hujan,
terasa nikmat tiada bandingannya, Edy bertemu dengan masa lalunya.
Dan
untuk pertama kalinya ia mengutuk pertemuan dengan teman yang telah terpisah belasan
tahun lamanya itu, tapi juga senang, tapi juga…ah, Edy mengumpat kepada dirinya
sendiri yang tidak tahu sama sekali bagaimana seharusnya ia bersikap dengan
pertemuan itu.
“Anda
Edy Rakhmadi, bukan?” kata seorang perempuan tinggi ramping berkerudung segi
empat berwarna biru muda dengan seragam hitam putih, yang tidak disadari Edy
telah berdiri di hadapannya sambil memegang tas ransel kecil bergambar karakter
kartun Frozen. Edy menaksir, perempuan yang memakai sepatu berwarna hitam
dengan hak agak tinggi ini seusianya, sekitar dua puluh enam tahunan.
“Iya.Ibu
kenal saya?”Edy memicingkan matanya yang entah sudah berapa minus matanya
sekarang. Terakhir saat kuliah dia pernah memakai kacamata.Namun, tidak lagi
lantaran selalu tertinggal, terutama di tempat wudhu. Edy meletakkan pembatas
buku di halaman 76 novel yang tengah dibacanya sambil mengingat-ingat, siapa
gerangan perempuan ini?
“Anda pernah
sekolah di SD Negeri 1 Baharu Utara, bukan?”
Edy mendengus,
ada apa dengan perempuan ini, ditanya malah membuat tanda tanya di benaknya
kian bertambah.Masa merah putih? Ah, begitu banyak kenangan di masa-masa itu. Jlep….
Tiba-tiba ada yang menghujam ingatannya. Edy pandangi lekat-lekat perempuan itu
yang masih menanti jawabannya. Antusias sekali perempuan ini, pikir Edy.Apakah
dia ini perempuan yang pernah dia cari selama sekolah menengah dan kuliah dulu?
Namun tidak lagi dia berusaha mencarinya, dan kini dia ada di hadapannnya. Oh,
jika dijejaki dengan seksama, wajah ini memang pernah akrab dengannya belasan
tahun yang lalu. Edy melihat cara senyum perempuan di hadapannya itu, khasnya
adalah mata perempuan yang memang agak sipit, ketika tersenyum semakin menyipit.
Jika memang benar perempuan ini adalah dia, kuat juga ingatannya, pikir Edy.
“Iya,
saya Ratmi. Apa masih ingat?” Perempuan itu seakan dapat membaca raut wajah
Edy.
“Oh, Ratmi.
Iya, ingat…ingat. Teman saat kelas empat dulu’kan?” Padahal Edy sangat
antusias, memuncah-muncah bahkan. Andai ia mau menuruti perasaannya, dia ingin sekali
tertawa keras-keras dan melempari perempuan ini dengan banyak pertanyaan: Kemana
saja kau selama ini? Masihkah kau simpan surat dariku? Bagaimana sekarang kau,
maksudnya masih sendiri atau?
“Apa
kabar, Bu Ratmi?” Pada akhirnya itu yang keluar dari mulut Edy. Ia merasa kaku
sekali dengan sapaan ‘Bu, Pak, dan Anda’.
“Saya
baik. Pak Edy gimana juga?”
“Baik
juga.”
Hening.
Untuk
sekian kalinya, kembali Edy menyumpahi dirinya, mengapa dia jadi gagap begini? Dia
alihkan sekilas pandangannya ke sekitar taman kota ini, para penjual bakso
goreng, penjual aneka es, dan pengunjung yang sekadar berjalan-jalan mulai merayapi
tempat ini.
“Azkia,
hati-hati! Jangan lari!” Ratmi berteriak kepada seorang anak berperawakan
gendut, berkulit putih, dengan rambut keriting yang tergerai dijilati angin
sore yang tengah menikmati ruang terbuka taman ini sambil sesekali menaiki
permainan perosotan. Usianya kira-kira empat tahun. Sesekali anak yang
dipanggil Azkia itu mendekat meminta minum yang diambil dari tas yang dipegang Ratmi,
wajahnya penuh keringat, lalu lari lagi mengitari seluruh bagian-bagian taman. Edy
sudah menebak siapa bocah perempuan itu, tapi dia malas memastikannya kepada Ratmi.
Edy mengatakan ‘halo’ dan mendadahi anak itu.
“Kapan
pulang dari Bandung?” Ratmi kembali membuka pembicaraan.
“Saya
sudah lama tidak ke sana. Meskipun di sana lebih segala-galanya, tapi karena
saya lahir di Kota Bamega ini, jadi lebih betah
di sini. Apalagi sejak beberapa bulan yang lalu, nenek, saya ajak tinggal di
sini.”
“Bukannya
dulu saat pindah sekolah, Anda pulang ke Bandung untuk selama-lamanya? Surat
Anda masih saya simpan.” Oh, akhirnya perempuan itu dengan cepat menyinggung
tentang surat itu. Namun, kening Edy mengerut. Dia bingung. Edy memang pernah menitipkan
surat kepada Anwar untuk menyampaikannya kepada Ratmi, tapi seingatnya, isinya
bukan tentang kepulangannya ke Kota Kembang, apalagi untuk selama-lamanya. Ya,
dia tidak mungkin salah ingat.
“Seingat
saya, surat yang saya titipkan melalui Anwar, isinya bahwa saya pindah ke Bakau.
Karena ayah saya pindah tugas sebagai kepala sekolah di sana,” papar Edy. Ada gurat
keterkejutan yang tertangkap oleh Edy di wajah Ratmi. “Tapi sudahlah, toh itu hanya masa lalu, bukan? Hehe.” Edy
berusaha memecah kekikukan yang sangat dibencinya itu.
“Tapi
aku sangat terkesan dengan pertemanan masa kecil kita itu, Dy.” Akhirnya Ratmi memanggil
namanya, bukan dengan sebutan ‘Pak’ dan tidak juga menggunakan kata ‘saya’ lagi.
Padahal,jika
boleh jujur, mungkin lebih dalam yang Edy rasakan kesan pertemanaan yang pernah
dijalani dengan perempuan yang kini kulitnya lebih putih ketimbang belasan
tahun yang lalu agak kecokelatan karena terlalu sering Edy ajak mancing dan
menyusuri sungai Jalan Bima. Sampai-sampai Edy mengabadikan masa kecil mereka
dengan membuatnya menjadi sebuah cerita pendek, yang bisa ia baca beribu-ribu
kali tanpa jenuh. Kapan saja ia menginginkannya. Ya, itu adalah bukti betapa ia
sangat terkesan dengan persahabatan masa kecilnya bersama Ratmi.
“Aku
kira, malah kamu yang pulang ke Surabaya, Mi. Aku sempat mencarimu saat SMA,
bahkan hingga kuliah,” kata Edy mulai berani dengan sapaan yang lebih santai. Namun,
mengapa wajah temannya itu menjadi murung dan terlihat memerah marah.
“Padahal
aku tidak pernah pindah juga dari kota ini hingga kini, Dy…. Mungkinkah Anwar
menulis surat ulang atas namamu itu, dengan isi yang berbeda? Hingga pada
akhirnya aku terima lamaran Anwar dan menikah dengannya empat tahun yang lalu.”
Seperti
ada sembilu yang mengganyang hati Edy. Dia memejamkan matanya. “Hei, itu masa lalu, kawan!” Umpatnya
dalam hati. Tuhan memang penentu segalanya. Bagaimana pun kerasnya dulu usaha
Edy mencari jejak sahabat kecilnya itu selama bertahun-tahun lamanya sejak
ayahnya kembali bertugas di Kotabaru, dan mereka sama-sama tinggal di kota
kecil ini, bahkan mereka sudah mengunjungi taman ini ratusan kali. Namun,
mungkin Tuhan berkehendak bahwa hari ini mereka baru harus bertemu.
Edy
tidak ingin memperbesar pembahasan tentang kecurigaan Ratmi dengan apa yang
dilakukan oleh Anwar terhadap surat yang dititipkannya tempo hari. Lucu juga
jika dia mengingatnya, saat dulu Anwar pernah marah-marah dan melarangnya
bermain dengan Ratmi. Mungkinkah, Anwar? Ah, mengapa juga ia ikut-ikutan Ratmi mencurigai
Anwar yang kini ia anggap lebih beruntung darinya, karena telah mempersunting
sahabat kecilnya itu.
Hampir
jam enam sore, tanpa sama-sama mengerti kesimpulan dari pertemuan itu, akhirnya
mereka berpisah dan mengakhirinya dengan bertukar kontak. Hal yang tidak bisa
mereka lakukan saat dulu masa putih merah, zaman yang masih mengandalkan surat
menyurat dan pesan mulut.
***
“Jadi
hidupmu kini hanya dengan buku, Edy?” Suara Ratmi menyadarkan Edy yang tengah mengunyah
kata-kata yang dirangkai oleh Eka Kurniawan. Ini adalah pertemuan mereka untuk
kedua kalinya setelah beberapa hari yang lalu. Sebenarnya Ratmi selalu mengajak
Edy bertemu di Ice Cream 77 yang
berada di Jalan Veteran, karena Azkia suka sekali makan ice cream, katanya.
Ratmi
juga sering sekali mengiriminya pesan singkat, seolah mengajak mengenang
masa-masa kecil dulu: mengerjakan Pekerjaan Rumah, menapaki setiap gang yang
ada di Desa Baharu Utara, memanjat pohon rambutan, mencari mangga yang jatuh di
kebun tetangga, apa saja yang bisa membuat Edy dan Ratmi kecil senang.
Namun,
Edy harus sadar bahwa kini semuanya telah berbeda, sahabat kecilnya itu kini
telah bersuami dan memiliki anak perempuan yang teramat lucu dan aktif.
Sehingga ia terus berusaha untuk menolak sehalus mungkin, agar Ratmi tidak
tersinggung dan berharap suatu saat Ratmi menyadari kondisi mereka saat ini.
Edy memicingkan
mata, memastikan perempuan yang kini seakan tiba-tiba hadir di hadapannya itu
benar adalah Ratmi, kemudian terkekeh. Edy lihat, tak jauh dari kursinya
tempatnya duduk, Azkia tengah menikmati ice
cream cokelat, sedang tangan kirinya memegang balon berwarna merah muda
berbentuk karakter Hello Kitty. Oh,
lihat, wajah cubby itu blepotan!
“Beginilah
hidupku, Ratmi. Tapi kau tidak perlu meragukan aku normal atau tidaknya sebagai
lelaki,” Edy kembali terkekeh. “Tiga minggu yang lalu, aku sudah berusaha melamar
seorang gadis. Hanya saja, Tuhan sepertinya belum percaya kepada temanmu ini
untuk membimbing seorang istri. Orangtuanya tak yakin, bahwa kata-kata yang
kurangkai dapat membuat anak gadis mereka hidup bahagia.”
Edy
telah jujur. Meskipun itu kali pertama ia putuskan untuk melamar seorang gadis.
Sebelumnya, selama bertahun-tahunia sengaja menenggelamkan diri dengan
buku-buku, menulis, dan membangun lembaga-lembaga pendidikan bersama
teman-temannya untuk menyalurkan keputusasaannya karena tidak berhasil menemukan
Ratmi, masa lalunya yang terlalu membekas di dalam hatinya.
Edy
menerima sebotol air mineral yang disodorkan Ratmi dan mengucapkan terima
kasih. Lalu wanita itu duduk di kursi panjang di hadapannya, bersisian dengan Azkia.Namun,
mengapa wajah wanita itu kembali murung? Ah, padahal awan hitam yang menggantung
di Bumi Saijaan sore ini sudah cukup membuat suasananya terasa berbeda dari
biasanya.
“Beberapa
malam yang lalu aku bertengkar dengan Mas Anwar, Edy. Aku menanyakan tentang
surat yang kau titipkan kepadanya tempo hari. Aku katakan kepadanya bahwa aku
telah bertemu denganmu lagi. Dia terlihat sangat terkejut dan salah tingkah. Dia
bilang, itu masa lalu dan dia tidak ingin mengingat-ingatnya lagi,” kata perempuan
itu, semakin sendu saja wajahnya.Sedang Edy tak percaya bahwa teman masa
kecilnya ituserius mengorek-korek tentang masa lalunya kepada suaminya.
“Anwar
benar Mi, kau tidak seharusnya mengungkit-ungkit kembali masa lalu kita. Toh, itu hanya masa kecil, hehe.” Edy
merasa itulah yang harus dikatakannya.
“’Toh’ dan ‘hanya’ katamu, Edy?” wajahnya
tidak terima, seakan wajah Ratmi berkata, ‘kau tidak mengerti betapa masa kecil
kita itu sangat berarti bagiku,Edy!’
Edy
bingung. Tuhan, andai saja pertemuannya dengan Ratmi tidak dalam kondisi
seperti ini. Pasti kisahnya tidak semiris saat ini. Sia-sia saja
berandai-andai, umpatnya lagi pada dirinya sendiri. Hening. Edy tidak tahu
harus menjawab apa.
“Oh,
jadi ini yang kalian lakukan di belakangku. Apa kabar, Edy? Lama sekali kita
tidak bertemu. Tapi aku bersyukur bahwa Tuhan mengabulkan doaku untuk menunda
pertemuan ini, terutama pertemuan kalian.”
“Abah!”
pekik Azkia, lalu menghambur kepada ayahnya, Anwar. Edy terkejut. Tapi Ratmi,
lihat wajah itu, biasa saja dia melihat kedatangan suaminya yang sudah dilahap api
cemburu itu!
“Baik,”
desis Edy, “Tapi ini tidak seperti yang kau kira, Anwar. Kami tidak sengaja
bertemu di sini.”
“Edy, kau
harus sadar, sekarang akulah suaminya! Kau hanya masa lalunya, bahkan masa lalu
waktu kecilnya. Ya, meski akulah yang telah memusnahkan suratmu dulu Edy dan mengganti
isinya. Tapi semuanya aku lakukan karena aku sangat menyukainya, mencintaimu Ratmi.
Setelah lulus SD hingga kuliah aku selalu berusaha untuk satu sekolah dan sekampus
denganmu, Ratmi. Kalian harus sadar, saat ini semuanya sudah berbeda.”
Hening.
Tetapi tidak dengan wajah Ratmi yang memanas. Lihat, matanya seakan memancarkan
kobaran api!“ Lalu, kau pikir aku akan rela melanjutkan kebohongan ini, Mas?
Tidak! Kau telah membohongi pertemanan kita hingga pada akhirnya kita menikah. Aku
ingin kita akhiri kebohongan yang telah berkarat ini, Mas. Ceraikan aku, Anwar!”
Edy semakin tidak habis pikir. Bisa-bisanya Ratmi mengatakan hal itu, hanya
karena kebohongan bocah dan kenangan di masa kecil mereka.
“Kau
sudah gila Ratmi! Ingat, kita sudah punya Azkia,” tantang Anwar.
“Dia
termasuk bagian hasil kebohonganmu, Mas. Kau pikir aku tidak mampu
membesarkannya tanpamu, hah?” Sebenarnya, yang menyakitkan Ratmi bukan hanya
sekadar masa lalu yang telah sengaja dihilangkan oleh Anwar, suaminya. Tetapi
kebohongan berlandaskan cinta itulah yang lebih membuatnya pedih.
Ratmi
melemparkan tatapannya kepada Edy dengan penuh harap. Namun, Edy hanya bisa menarik
napas bingung dan meninggalkan mereka yang selanjutnya terus saling berlomba
ingin didengar dan dipahami, sudah banyak mata pengunjung lain yang menatap
mereka. Edy merasa ini adalah urusan rumah tangga mereka.
Namun,
ketika langkahnya mulai menjauh, tiba-tiba tubuhnya kembali berbalik saat ia
dengar orang-orang berteriak histeris termasuk suara mungil Azkia. Edy lihat, tangan
Ratmi bergetar memegang pisau yang telah berlumuran darah. Sedangkan di
hadapannya, Anwar tengah melawan rasa sakit di perut sebelah kanannya.
Seperti
gunung yang meletus, Ratmi menumpahkan kemarahannya,“ Dari kemarin aku menunggu
saat-saat ini, Mas. Bahkan kau sangat bangga dengan kebohongan yang telah kau buat
belasan tahun lamanya.”
Sebegini
besarnyakah seorang perempuan memperlakukan masa lalu? Edy berlari untuk menenangkan
Ratmi dan memeluk Azkia yang terlihat sangat syok. Mulut Edy juga telah bersiap
untuk berteriak meminta tolong untuk Anwar yang kini tengah terkapar.
Kotabaru, 15-16 Mei 2016
BIODATA:
Asep Fauzi. Penulis yang lahir dan menetap di Kotabaru, Kalimantan
Selatan.Puluhan cerpennya telah dipublikasikan di KoranRadar Surabaya, Media Kalimantan, RadarBanjarmasin,
BanjarmasinPost, Mata Banua, Majalah Serambi Ummah dan di sejumlah buku
antologi bersama.Buku kumpulan cerpen
solo perdananya berjudul “Ziarah Debu” (2016).