Pagi?
Selamat malam?
Apa ini hujan?
Jadi, apa aku harus bahagia atau bagaimana?
Karena bagiku, semua hanyalah kosong.
***
Jadi ini musim menangis, ketika hujan memahami
untuk merobek kembali kenangan hitam di hati. Namun langit, justru selalu
mengajarkan untuk mengeja airmata. Tega memang, setiap hujan tumpah, kenangan
itu akan bergantian merobek-robek hatiku. Meski telah kupangkas, mencoba
menguburnya dan melupakan, semakin kuat pula ia akan menikam balik. Dan hujan
selalu benar, tetesnya kerap menceritakan kembali tentang sajak puisi luka.
Selalu tahu, ketika hatiku nelangsa dan tersiksa rindu, hujan akan turun untuk
menambah lagi luka di hati.
Kau di mana, Rindu? Ini tentang hujan yang
kesekian kalinya menemani tangisku dan kau memilih untuk menjadi seperti awan
yang mencair berganti hujan lalu hilang. Apa belum cukup dengan semua penantian
ini yang menyiksaku ini? Sepuluh tahun hatiku merangkak, merangkai kembali
pecahan-pecahan hatiku demi bertahan menunggu. Karena aku percaya, suatu saat,
suatu hari, entah itu kapan, kau akan datang menemuiku serupa pelangi yang
merekah usai hujan. Namun entah kapan, aku tak pernah tahu. Hingga bagiku,
menunggu menjadikan diriku seperti surat tanpa alamat.
Di sinilah aku, di tempat biasa kita
menyampaikan puisi bersama hujan. Karena aku, kau dan hujan adalah seperangkat
cerita cinta. Kau ingat sajakmu dulu,
bahwa hujan selalu menetaskan pelukan antara kita. Sayang, semua itu kini hanya
terperangkap dalam bingkai kenangan yang berdebu di benakku.
Kau di mana, Rindu? Sampai kapan kau menyekapku
dalam tangisan dan penantian ini. Apa aku hanya menjadi puisi luka dengan sajak
berdarah yang mengiris hati sepotong demi sepotong untuk digubahkan. Rindu, aku
benci hujan. Bagiku, hujan hanya melahirkan kesedihan yang menusuk di ulu hati.
Ia tak peduli sesengsara apa perasaanku. Menurutnya, hanya jatuh, larut dan
terbuang. Dingin, basah dan terlupakan, begitulah hujan. Dan ia tak tahu bahwa
hadirnya adalah kejam untukku, yang, setiap hari, saat hujan luruh, bersusah
payah kutopang dada dan perasaan, meski aku tahu itu sama seperti dulu, tak
berkurang sesentipun.
Ah, Rindu, katakanlah, kapan hujan akan
berhenti.
***
Ini bukan sekedar nama
Bukan pula sekedar senyuman
Karema ini adalah tentang hujan
Aku Rinai. Aku sangat menyukai hujan. Jika
hujan turun, aku tak sungkan membiarkannya utuh membungkus tubuhku. Tak peduli
dingin atau segeram apa langit menggerutu. Karena hujan kerap pandai membuatku
tersenyum. Ia meleleh dari langit dan berbunyi macam irama yang memainkan melodi
romantis. Bukankah itu indah. Bukankah hujan adalah kado anugerah dari tuhan
dan aku tak akan lari menjauhinya. Lantas memeluknya erat-erat tanpa seorang
pun dapat mencegah. Saat itulah kau
hadir. Aku tak pernah sebelumnya mengenalmu waktu itu. Kau lelaki asing yang
menatapku heran dibalik payung coklatmu itu. Tentu saja, mungkin kau
menganggapku gila yang tertawa riang saat hujan kubiarkan menjilati tubuhku.
Kau mendekat, Rindu. Waktu itu, aku ingat wajahmu geram denganku. Memaksaku. Memarahiku.
"Hei kau! Berteduhlah, nanti sakit."
Awalnya, aku sama sekali tak menghiraukanmu.
Buat apa? Bahkan kau hanya orang asing yang tak pernah kukenali dan malah
tiba-tiba sok kenal dan mengatur.
"Kau gila! Ini hujan, bodoh! Kau akan
sakit."
"Hei jaga mulutmu!"
"Baik, tapi kau harus berhenti dari
kegilaan ini."
Lantas kaupun menyerahkan payung coklatmu
padaku dan memelukkan jaketmu ke bahuku. Dan kau malah memilih membiarkan hujan
menerkammu, membiarkan dingin menusuk hingga ke tulang. Dan aku sadar, kau
lelaki yang baik. Lantas, kitapun berkenalan. Kau Rindu dan aku Rinai. Namun ya tuhan, hujan justru semakin lebat ditemani
angin yang tak kalah geram mengamuk. Aku tahu kau tak baik-baik saja. Tapi kau
selalu tersenyum saat kutanya, kaupun selalu menjawab tak apa.-apa.
Hingga langkah kita habis di depan rumahku. Kau
masih bisa tersenyum meski waktu itu kau sama sekali gagal menyamarkan tubuhmu
yang menggigil.
"Terima kasih.."
Dan kau lagi-lagi menanggapinya dengan
senyuman. Hari itu, aku tak pernah peduli dengan semua kejadian itu, juga
tentangmu. Namun beberapa hari kemudian aku baru tahu dan perasaan itupun ikut
beranak pinak bersama hujan. Perasaanku waktu itu sama seperti puisimu, masih
sangat sarat makna.
***
Jika menangis itu perih, aku siap
Karena hujan adalah tangisan yang sering
kujumpai
Jika mencintai itu untuk melupakan,
percayalah.. Aku tak pernah lari dari itu meski sejujurnya ini dusta
Karena ini semua salahku
Mencintaimu saat hujan. Maka setiap tetesnya
kau akan menari-nari jatuh bersamanya. Pun saat sakit hati, patah hati dan
menunggu. Hujanlah yang begitu sakit menyuratkan semua itu.
Sejak itu, kau mutlak lenyap dari pikiranku.
Dan aku juga tak akan mau bersusah payah mencarimu. Namun sebaliknya, justru
kau yang mencariku. Datang setiap hari, setiap pagi, juga setiap hujan sebagai
pembersih jalan. Kaupun tahu aku menyukai hujan melalui ceritaku, bukan. Dan
hujan tentu menjadi kesempatanmu untuk mencuri hatiku, bukan. Ah, Rindu,
bukankah itu gila, jika ini musim hujan, maka setiap hari pula kau sok sibuk
dan sok baik membersihkan jalanan rumahku. Mengapa kau tak menemuiku langsung,
jika itu perlu, kau tak perlu menjadikan dirimu seperti ranting yang dibawa
air. Ikut seenaknya saja air membawanya, tak peduli apapun. Dan hatimu yang gila
itulah macam air.
Tahukah, tapi aku justru senang kau melakukan
itu. Bahkan kau tanpa malu sesekali memainkan sajak puisi di bawah hujan.
Memang gila dan itu sempurna sudah membuat ayahku muak. Ia tak pernah suka
dengan laki-laki, apalagi denganmu yang segila itu. Baginya kau itu hanyalah
lelaki tak waras yang tersesat dengan sajak kurang ajar itu.
Dan aku sadar, kau memang lelaki berkepala
batu. Bukan hanya itu, Rindu. Seusai pulang kuliah, saat hujan begitu saja
mengupas hari dengan tangisan, kau selalu memberikan payung coklat itu,
membiarkan tubuhmu dicabik-cabik hujan. Bukan hanya sekali atau dua, tapi
sering. Hingga hari itu kau mengajakku menikmati hujan, tentu aku sangat
senang, Rindu. Kitapun pergi ke pinggir kota, dekat sungai. Dan di sana hujan
terlihat indah menari-nari di atas permukaan air. Saat itulah kau utuh membuat
hatiku lumpuh. Ya tuhan, aku bahkan tak kuat menahan merah muka saat kutahu kau
sudah mempersiapkan perahu itu untuk kita naiki. Ini tidak sesederhana itu,
karena hujan turun sangat lebat. Di tengah perahu itulah kau mendayung dan
memainkan puisi.
Aku tak pernah lupa hari itu, Rindu.
Ketahuilah, hujanlah yang menjadi saksi bisu cinta kita.
Apa kau ingat?
***
Benarkah jika cinta itu tak harus memiliki
Lantas, bagaimana mampu aku menahan lumpuh
hatiku untuk melupakanmu
Hujan selalu mengajarkanku untuk memilih. Meski
itu salah, karena jika cinta itu adalah sebuah pilihan, bagaimana bisa jika
kita salah memilih. Apa melupakan begitu saja, mudah?
Kita adalah bagian dari hujan. Bagian dari
tetesan langit yang menangis yang saling melengkapi. Kita arungi setiap rasa,
sayang, rindu bersama sajak puisi. Dan kita seperti baru terlahir dari setumpuk
imaji dan kata manis yang akan menjadi sajak puisi romantis.
Sebenarnya aku tak pandai berpuisi. Tapi kau
benar, saat hatiku merindu, tercabik bahkan terluka, kata-kata penuh puisi
mengalir deras dari lidahku. Di restoran ini kita sering menghabiskan hari,
membagi cerita bersama senarai hujan yang tak luput menemani, yang selalu pula
membuatku tersenyum dengan gurauanmu. Dengan ceritamu yang sebelum kuliah
sempat menjadi santri di Pesantren Al Falah. Kau lelaki yang lucu, juga pandai
berpuisi. Sayangnya, masalah baru muncul menghakimi kita. Ayahku tahu
tentangmu, tentang kita juga tentang hubungan kita. Ia bahkan tak ragu untuk
menyekapmu dalam kamar pengap untuk waktu yang lama, menghabiskan hari bersama
sepi dan sendirian demi menjauhkanku darimu, Rindu.
Ia memang tak pernah menyukai laki-laki
terlebih kau yang pernah membuatnya muak dengan tingkah laku gilamu waktu itu.
Ayah mencoba membuatku melupakanmu, mengikis habis semuanya, Rindu. Tidak.
Tidak akan pernah, selama hujan masih menggauni langit, mana bisa aku
melupakanmu. Selama hujan masih ada, mana bisa kuhapus tentangmu dari hidupku.
Namun, kau tau, Rindu. Dunia ini memang kejam.
Dan baru saja, aku mulai membenci hujan.
***
Aku selalu kalah dalam cinta
Mencoba berdamai dengan segalanya
Mengikhlaskan segalanya
Karena jika memang sayang, tak peduli kau
milikku atau bukan, sayang itu takkan berkurang semilipun
Dan aku mulai belajar untuk menyadari
Untuk melepaskan, jika memang perlu, jika
memang harus, maka tak apa kau pergi dariku
Bukan dalam arti hilang atau telah habis
sayangnya. Karena memang beginilah cinta.
Aku mengerti
Aku Rindu. Lelaki dengan serangsang puisi.
Bagiku, hujan selalu pandai mengajarkanku bagaimana membuat puisi, karena hujan
kerap mengingatkanku padamu, Rinai. Kau tau, saat pertama kali aku menatapmu,
hatiku tak kunjung lelah mencipta puisi demi menceritakan cantikmu. Aku sangat
menykaimu, Rinai. Hingga hari itu, di atas perahu yang digauni lebat hujan,
kaupun baru mengerti dan percaya setulus apa cintaku. Karena, aku memang sangat
mencintaimu, Rinai.
Dan kita pun, di restoran ini kerap melebur
hari dengan puisi-puisiku sambil menikmati hidangan hujan. Entah seberapa
banyak hujan yang telah kita temui, perasaanku tetap utuh seperti awal hatiku
mengukirkan rasa cinta, ya, tak berkurang semili pun.
Pun aku juga tahu, ayahmu tak pernah kunjung
menyukaiku. Itu aku tahu saat nekad bertandang ke rumahmu. Memastikan kau
baik-baik saja yang beberapa hari mendadak hilang dalam detik hidupku. Namun
ayahmu kalap dan marah mengusirku dan membentak kasar. Tak apa, kuharap suatu
saat sifat keras ayahmu akan luntur.
Aku tak menyangka, Rinai. Ketika seharian
hatiku remuk dan rapuh memikirkanmu. Aku tak pernah tau, tak pernah menyangka,
malam itu seseorang pun -yang entah tak kukenali memberikanku sepucuk surat.
Itu dari ayahmu. Mulanya, aku ragu dan terlanjur kaku untuk menerimanya. Tetapi
orang itu kembali menyakinkan. Tahukah, aku bahkan hampir tak percaya. Kau tau,
apa isi surat itu. Ya tuhan, itu surat permohonan maaf ayahmu. Tapi bukan itu
yang membuatku kaget, melainkan ajakan ayahmu untuk meminangmu, Rinai. Aduh,
bagaimana bisa? Kau bahkan belum memberitahuku sama sekali dengan kejutan hebat
ini.
Semalaman aku gelisah menyandang perasaan ini.
Semalaman hatiku beringas menyenandungkan puisi dan tak henti-hentinya
menyuratkan cinta untukmu. Ibu dan ayahku di kampungpun ikut mengirim restu dan
senang dengan kabar ini, Rinai. Setiap
detik, setiap sajak hanya namamu yang bergelanyutan.
Dengan cincin emas yang telah jauh hari
kusiapkan, dengan tenang akupun mendatangi rumahmu pagi itu. Namun, aku.. aku.. Tak tahu lagi caranya bernafas saat
tiba diujung halaman depan rumahmu.
Kau jahat, Rinai.
***
Aku ingin menghapus hujan.
Aku masih di sini menunggumu, Rindu. Tentang
hari itu, aku minta maaf. Kau salah Rindu. Kau salah. Aku tak pernah ingin
melukai perasaanmu. Mana mungkin aku tega menghancurkan cinta kita yang lahir
begitu indah serupa sajakmu. Tapi, semua telah terjadi, langit tak pernah pula menyesal
membubuhkan hujan, lantas mau mencoba menghapus begitu saja? Dengan apa yang
hujan perbuat. Tak mungkin. Kau tahu, aku bahkan waktu itu masih tersekap dalam
kamar tanpa tahu apa yang terjadi.
Kau keliru, rindu. Ayah memang jahat
menyandiwarakan soal pernikahan itu, yang sebenarnya aku masih menunggumu
hingga sampai kini.
Usai hari itu, kau mendadak raib dari hidupku,
hilang entah ke mana. Aku selalu mencarimu, ingin meluruskan semua
kesalahpahaman ini. Percuma, kau tak ada di manapun. Sepuluh tahun aku
terpuruk. Sepuluh tahun aku mengutuki hati, terlebih hujan selalu kejam
denganku. Ketika aku belajar melupakanmu, tapi hujan malah menyeretnya kembali.
Dan sekarang aku sadar, cinta kita hanya sepasang sayap burung yang telah
lumpuh lama. Kau hanya seorang mantan.
Karena langit selalu menyisakan hujan untukku
agar masih mengingatmu.
"Maaf membuatmu lama menunggu,"
katamu yang kemudian datang usai hujan reda.
"Tak apa. Anakmu cantik, mana
istrimu?" tanyaku sambil tersenyum.
"Ia tak bisa ikut," jawabmu.
Sejujurnya, kali ini aku sangat ingin menangis
sama seperti hujan tadi. Ah, aku benci hujan.
Dan aku.. Ingin sekali menghapus hujan dari hidupku.
"Tante Rinai, apa yang tante
lakukan?"
06.50 pm, minggu 24 April
2016
Biodata
Muhammad Rifki, tinggal di Anjir Pasar Lama Km. 16 dan kini
sedang menyantren di Ponpes Al Falah Putera, Banjarbaru. Dilahirkan pada
tanggal 13 Agustus 1998 di Anjir Pasar Lama. Ingin mengenalnya, bisa melalui
via email rifkimaibelopah@gmail.com atau akun facebook Maibe Lopah.