Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 14 Januari 2017

CERPEN MUHAMMAD RIFKI: MENGHAPUS HUJAN


Pagi?
Selamat malam?
Apa ini hujan?
Jadi, apa aku harus bahagia atau bagaimana?
Karena bagiku, semua hanyalah kosong.

***
Jadi ini musim menangis, ketika hujan memahami untuk merobek kembali kenangan hitam di hati. Namun langit, justru selalu mengajarkan untuk mengeja airmata. Tega memang, setiap hujan tumpah, kenangan itu akan bergantian merobek-robek hatiku. Meski telah kupangkas, mencoba menguburnya dan melupakan, semakin kuat pula ia akan menikam balik. Dan hujan selalu benar, tetesnya kerap menceritakan kembali tentang sajak puisi luka. Selalu tahu, ketika hatiku nelangsa dan tersiksa rindu, hujan akan turun untuk menambah lagi luka di hati.
Kau di mana, Rindu? Ini tentang hujan yang kesekian kalinya menemani tangisku dan kau memilih untuk menjadi seperti awan yang mencair berganti hujan lalu hilang. Apa belum cukup dengan semua penantian ini yang menyiksaku ini? Sepuluh tahun hatiku merangkak, merangkai kembali pecahan-pecahan hatiku demi bertahan menunggu. Karena aku percaya, suatu saat, suatu hari, entah itu kapan, kau akan datang menemuiku serupa pelangi yang merekah usai hujan. Namun entah kapan, aku tak pernah tahu. Hingga bagiku, menunggu menjadikan diriku seperti surat tanpa alamat.
Di sinilah aku, di tempat biasa kita menyampaikan puisi bersama hujan. Karena aku, kau dan hujan adalah seperangkat cerita  cinta. Kau ingat sajakmu dulu, bahwa hujan selalu menetaskan pelukan antara kita. Sayang, semua itu kini hanya terperangkap dalam bingkai kenangan yang berdebu di benakku.
Kau di mana, Rindu? Sampai kapan kau menyekapku dalam tangisan dan penantian ini. Apa aku hanya menjadi puisi luka dengan sajak berdarah yang mengiris hati sepotong demi sepotong untuk digubahkan. Rindu, aku benci hujan. Bagiku, hujan hanya melahirkan kesedihan yang menusuk di ulu hati. Ia tak peduli sesengsara apa perasaanku. Menurutnya, hanya jatuh, larut dan terbuang. Dingin, basah dan terlupakan, begitulah hujan. Dan ia tak tahu bahwa hadirnya adalah kejam untukku, yang, setiap hari, saat hujan luruh, bersusah payah kutopang dada dan perasaan, meski aku tahu itu sama seperti dulu, tak berkurang sesentipun.
Ah, Rindu, katakanlah, kapan hujan akan berhenti.
***
Ini bukan sekedar nama
Bukan pula sekedar senyuman
Karema ini adalah tentang hujan

Aku Rinai. Aku sangat menyukai hujan. Jika hujan turun, aku tak sungkan membiarkannya utuh membungkus tubuhku. Tak peduli dingin atau segeram apa langit menggerutu. Karena hujan kerap pandai membuatku tersenyum. Ia meleleh dari langit dan berbunyi macam irama yang memainkan melodi romantis. Bukankah itu indah. Bukankah hujan adalah kado anugerah dari tuhan dan aku tak akan lari menjauhinya. Lantas memeluknya erat-erat tanpa seorang pun dapat  mencegah. Saat itulah kau hadir. Aku tak pernah sebelumnya mengenalmu waktu itu. Kau lelaki asing yang menatapku heran dibalik payung coklatmu itu. Tentu saja, mungkin kau menganggapku gila yang tertawa riang saat hujan kubiarkan menjilati tubuhku. Kau mendekat, Rindu. Waktu itu, aku ingat wajahmu geram denganku. Memaksaku. Memarahiku.
"Hei kau! Berteduhlah, nanti sakit."
Awalnya, aku sama sekali tak menghiraukanmu. Buat apa? Bahkan kau hanya orang asing yang tak pernah kukenali dan malah tiba-tiba sok kenal dan mengatur.
"Kau gila! Ini hujan, bodoh! Kau akan sakit."
"Hei jaga mulutmu!"
"Baik, tapi kau harus berhenti dari kegilaan ini."
Lantas kaupun menyerahkan payung coklatmu padaku dan memelukkan jaketmu ke bahuku. Dan kau malah memilih membiarkan hujan menerkammu, membiarkan dingin menusuk hingga ke tulang. Dan aku sadar, kau lelaki yang baik. Lantas, kitapun berkenalan. Kau Rindu dan aku Rinai. Namun  ya tuhan, hujan justru semakin lebat ditemani angin yang tak kalah geram mengamuk. Aku tahu kau tak baik-baik saja. Tapi kau selalu tersenyum saat kutanya, kaupun selalu menjawab tak apa.-apa.
Hingga langkah kita habis di depan rumahku. Kau masih bisa tersenyum meski waktu itu kau sama sekali gagal menyamarkan tubuhmu yang menggigil.
"Terima kasih.."
Dan kau lagi-lagi menanggapinya dengan senyuman. Hari itu, aku tak pernah peduli dengan semua kejadian itu, juga tentangmu. Namun beberapa hari kemudian aku baru tahu dan perasaan itupun ikut beranak pinak bersama hujan. Perasaanku waktu itu sama seperti puisimu, masih sangat sarat makna.
***
Jika menangis itu perih, aku siap
Karena hujan adalah tangisan yang sering kujumpai
Jika mencintai itu untuk melupakan, percayalah.. Aku tak pernah lari dari itu meski sejujurnya ini dusta
Karena ini semua salahku
Mencintaimu saat hujan. Maka setiap tetesnya kau akan menari-nari jatuh bersamanya. Pun saat sakit hati, patah hati dan menunggu. Hujanlah yang begitu sakit menyuratkan semua itu.

Sejak itu, kau mutlak lenyap dari pikiranku. Dan aku juga tak akan mau bersusah payah mencarimu. Namun sebaliknya, justru kau yang mencariku. Datang setiap hari, setiap pagi, juga setiap hujan sebagai pembersih jalan. Kaupun tahu aku menyukai hujan melalui ceritaku, bukan. Dan hujan tentu menjadi kesempatanmu untuk mencuri hatiku, bukan. Ah, Rindu, bukankah itu gila, jika ini musim hujan, maka setiap hari pula kau sok sibuk dan sok baik membersihkan jalanan rumahku. Mengapa kau tak menemuiku langsung, jika itu perlu, kau tak perlu menjadikan dirimu seperti ranting yang dibawa air. Ikut seenaknya saja air membawanya, tak peduli apapun. Dan hatimu yang gila itulah macam air.
Tahukah, tapi aku justru senang kau melakukan itu. Bahkan kau tanpa malu sesekali memainkan sajak puisi di bawah hujan. Memang gila dan itu sempurna sudah membuat ayahku muak. Ia tak pernah suka dengan laki-laki, apalagi denganmu yang segila itu. Baginya kau itu hanyalah lelaki tak waras yang tersesat dengan sajak kurang ajar itu.
Dan aku sadar, kau memang lelaki berkepala batu. Bukan hanya itu, Rindu. Seusai pulang kuliah, saat hujan begitu saja mengupas hari dengan tangisan, kau selalu memberikan payung coklat itu, membiarkan tubuhmu dicabik-cabik hujan. Bukan hanya sekali atau dua, tapi sering. Hingga hari itu kau mengajakku menikmati hujan, tentu aku sangat senang, Rindu. Kitapun pergi ke pinggir kota, dekat sungai. Dan di sana hujan terlihat indah menari-nari di atas permukaan air. Saat itulah kau utuh membuat hatiku lumpuh. Ya tuhan, aku bahkan tak kuat menahan merah muka saat kutahu kau sudah mempersiapkan perahu itu untuk kita naiki. Ini tidak sesederhana itu, karena hujan turun sangat lebat. Di tengah perahu itulah kau mendayung dan memainkan puisi.
Aku tak pernah lupa hari itu, Rindu. Ketahuilah, hujanlah yang menjadi saksi bisu cinta kita.
Apa kau ingat?
***
Benarkah jika cinta itu tak harus memiliki
Lantas, bagaimana mampu aku menahan lumpuh hatiku untuk melupakanmu
Hujan selalu mengajarkanku untuk memilih. Meski itu salah, karena jika cinta itu adalah sebuah pilihan, bagaimana bisa jika kita salah memilih. Apa melupakan begitu saja, mudah?

Kita adalah bagian dari hujan. Bagian dari tetesan langit yang menangis yang saling melengkapi. Kita arungi setiap rasa, sayang, rindu bersama sajak puisi. Dan kita seperti baru terlahir dari setumpuk imaji dan kata manis yang akan menjadi sajak puisi romantis.
Sebenarnya aku tak pandai berpuisi. Tapi kau benar, saat hatiku merindu, tercabik bahkan terluka, kata-kata penuh puisi mengalir deras dari lidahku. Di restoran ini kita sering menghabiskan hari, membagi cerita bersama senarai hujan yang tak luput menemani, yang selalu pula membuatku tersenyum dengan gurauanmu. Dengan ceritamu yang sebelum kuliah sempat menjadi santri di Pesantren Al Falah. Kau lelaki yang lucu, juga pandai berpuisi. Sayangnya, masalah baru muncul menghakimi kita. Ayahku tahu tentangmu, tentang kita juga tentang hubungan kita. Ia bahkan tak ragu untuk menyekapmu dalam kamar pengap untuk waktu yang lama, menghabiskan hari bersama sepi dan sendirian demi menjauhkanku darimu, Rindu.
Ia memang tak pernah menyukai laki-laki terlebih kau yang pernah membuatnya muak dengan tingkah laku gilamu waktu itu. Ayah mencoba membuatku melupakanmu, mengikis habis semuanya, Rindu. Tidak. Tidak akan pernah, selama hujan masih menggauni langit, mana bisa aku melupakanmu. Selama hujan masih ada, mana bisa kuhapus tentangmu dari hidupku.
Namun, kau tau, Rindu. Dunia ini memang kejam. Dan baru saja, aku mulai membenci hujan.
***
Aku selalu kalah dalam cinta
Mencoba berdamai dengan segalanya
Mengikhlaskan segalanya
Karena jika memang sayang, tak peduli kau milikku atau bukan, sayang itu takkan berkurang semilipun
Dan aku mulai belajar untuk menyadari
Untuk melepaskan, jika memang perlu, jika memang harus, maka tak apa kau pergi dariku
Bukan dalam arti hilang atau telah habis sayangnya. Karena memang beginilah cinta.
Aku mengerti

Aku Rindu. Lelaki dengan serangsang puisi. Bagiku, hujan selalu pandai mengajarkanku bagaimana membuat puisi, karena hujan kerap mengingatkanku padamu, Rinai. Kau tau, saat pertama kali aku menatapmu, hatiku tak kunjung lelah mencipta puisi demi menceritakan cantikmu. Aku sangat menykaimu, Rinai. Hingga hari itu, di atas perahu yang digauni lebat hujan, kaupun baru mengerti dan percaya setulus apa cintaku. Karena, aku memang sangat mencintaimu, Rinai.
Dan kita pun, di restoran ini kerap melebur hari dengan puisi-puisiku sambil menikmati hidangan hujan. Entah seberapa banyak hujan yang telah kita temui, perasaanku tetap utuh seperti awal hatiku mengukirkan rasa cinta, ya, tak berkurang semili pun.
Pun aku juga tahu, ayahmu tak pernah kunjung menyukaiku. Itu aku tahu saat nekad bertandang ke rumahmu. Memastikan kau baik-baik saja yang beberapa hari mendadak hilang dalam detik hidupku. Namun ayahmu kalap dan marah mengusirku dan membentak kasar. Tak apa, kuharap suatu saat sifat keras ayahmu akan luntur.
Aku tak menyangka, Rinai. Ketika seharian hatiku remuk dan rapuh memikirkanmu. Aku tak pernah tau, tak pernah menyangka, malam itu seseorang pun -yang entah tak kukenali memberikanku sepucuk surat. Itu dari ayahmu. Mulanya, aku ragu dan terlanjur kaku untuk menerimanya. Tetapi orang itu kembali menyakinkan. Tahukah, aku bahkan hampir tak percaya. Kau tau, apa isi surat itu. Ya tuhan, itu surat permohonan maaf ayahmu. Tapi bukan itu yang membuatku kaget, melainkan ajakan ayahmu untuk meminangmu, Rinai. Aduh, bagaimana bisa? Kau bahkan belum memberitahuku sama sekali dengan kejutan hebat ini.
Semalaman aku gelisah menyandang perasaan ini. Semalaman hatiku beringas menyenandungkan puisi dan tak henti-hentinya menyuratkan cinta untukmu. Ibu dan ayahku di kampungpun ikut mengirim restu dan senang  dengan kabar ini, Rinai. Setiap detik, setiap sajak hanya namamu yang bergelanyutan.
Dengan cincin emas yang telah jauh hari kusiapkan, dengan tenang akupun mendatangi rumahmu pagi itu. Namun,  aku.. aku.. Tak tahu lagi caranya bernafas saat tiba diujung halaman depan rumahmu.
Kau jahat, Rinai.
***
Aku ingin menghapus hujan.

Aku masih di sini menunggumu, Rindu. Tentang hari itu, aku minta maaf. Kau salah Rindu. Kau salah. Aku tak pernah ingin melukai perasaanmu. Mana mungkin aku tega menghancurkan cinta kita yang lahir begitu indah serupa sajakmu. Tapi, semua telah terjadi, langit tak pernah pula menyesal membubuhkan hujan, lantas mau mencoba menghapus begitu saja? Dengan apa yang hujan perbuat. Tak mungkin. Kau tahu, aku bahkan waktu itu masih tersekap dalam kamar tanpa tahu apa yang terjadi.
Kau keliru, rindu. Ayah memang jahat menyandiwarakan soal pernikahan itu, yang sebenarnya aku masih menunggumu hingga sampai kini.
Usai hari itu, kau mendadak raib dari hidupku, hilang entah ke mana. Aku selalu mencarimu, ingin meluruskan semua kesalahpahaman ini. Percuma, kau tak ada di manapun. Sepuluh tahun aku terpuruk. Sepuluh tahun aku mengutuki hati, terlebih hujan selalu kejam denganku. Ketika aku belajar melupakanmu, tapi hujan malah menyeretnya kembali. Dan sekarang aku sadar, cinta kita hanya sepasang sayap burung yang telah lumpuh lama. Kau hanya seorang mantan.
Karena langit selalu menyisakan hujan untukku agar masih mengingatmu.
"Maaf membuatmu lama menunggu," katamu yang kemudian datang usai hujan reda.
"Tak apa. Anakmu cantik, mana istrimu?" tanyaku sambil tersenyum.
"Ia tak bisa ikut," jawabmu.
Sejujurnya, kali ini aku sangat ingin menangis sama seperti hujan tadi. Ah, aku benci hujan.
Dan aku.. Ingin sekali menghapus hujan dari hidupku.
"Tante Rinai, apa yang tante lakukan?"

06.50 pm, minggu 24 April 2016

Biodata
Muhammad Rifki, tinggal di Anjir Pasar Lama Km. 16 dan kini sedang menyantren di Ponpes Al Falah Putera, Banjarbaru. Dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1998 di Anjir Pasar Lama. Ingin mengenalnya, bisa melalui via email rifkimaibelopah@gmail.com atau akun facebook Maibe Lopah.




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter