Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 21 Januari 2017

CERPEN YUDITEHA: SIKLUS SINGKAT


Malam tiba.
Aku merasa kehadiranku tak diharapkan. Setiap berjumpa dengan orang, mereka seperti ingin menghindar. Dan jika kebetulan berpapasan dengan orang di jalan, kontan mereka seperti mendadak ada yang terasa gatal ditubuhnya.

Sebenarnya aku tidak ingin ada di sini, tapi saat ini memang sudah waktunya aku harus di sini. Tidak bisa tidak, aku harus pergi dari rumah karena rumah itu sudah bukan milikku lagi. Katakanlah dulu aku hanya meminjamnya. Kini aku harus benar-benar pergi. Begitu aku pergi, aku bingung harus ke mana? Lalu aku mencoba mencari tempat yang sekiranya bisa kujadikan berlidung. Paling tidak aku bisa menunda waktu saat maut akan menjemputku. Tapi di manakah tempat itu?
Aku akan mendatangi setiap rumah dan memohon kepada si empunya agar aku diperkenankan untuk tinggal bersama mereka. Siapa tahu ada yang mau menerimaku dengan ikhlas. Yang harus kulakukan adalah sikap rendah hati dan tetap tabah bila nanti aku mendapati penolakan. Apa mungkin memang sudah harga yang pantas buat diriku bila nanti diperlakukan seperti itu? Hingga sikap mereka saat bertemu denganku sebagian besar menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Itulah yang menbuat aku harus super ekstra besar mengumpulkan keberanian untuk melakukannya.
Pertama aku menuju sebuah toko kelontong.  Begitu aku permisi ingin masuk bahkan belum sampai bertemu dengan tuan rumah, lampu depan dan lampu dalam toko buru-buru dimatikan. Aku tidak tahu mengapa dia begitu membenciku. Untuk sebuah percakapan saja tak pernah mereka lakukan. Aku tidak putus asa. Kudatangi sebuah rumah yang cukup megah. Aku melihat di balik jendela kaca depan. Tak lama kemudian gorden dari balik nako disingkap oleh pria paruh baya. Dia mengenakan piyama yang kancing bajunya tak terkunci hingga terlihat jelas perut buncitnya. Begitu dia melihatku, tanpa berkata-kata dia kembali menutup gorden dan berlalu begitu saja. Aku mengumpat lirih, dasar orang kaya pelit. Anti sosial. Tak berselang lama, lagi-lagi lampu teras rumah megah itu mati. Ke mana lagi aku memohon?
Malam itu, saat aku jatuh dalam harapan kosong, tidak sengaja mendapati sepasang kekasih sedang bercinta di serambi rumah. Aku nekat menemui mereka. Rupanya kedatanganku dari jauh sudah mereka ketahui. Sepasang kekasih yang sedang berciuman itu buru-buru melepaskan ciumannya lalu berdiri bergandengan tangan masuk rumah dan yang nyata-nyata kuhadapi  adalah matinya lampu teras.
Kalau boleh memilih sebenarnya aku lebih suka kehidupanku dulu, karena di sana aku bisa saling gotong royong antar teman dalam segala hal.  Mendirikan rumah, mencari rejeki atau melakukan perlindungan dari bahaya yang sekiranya tiba-tiba muncul. Memang dulu aku suka membayangkan alangkah menyenangkan bisa menikmati sebuah malam di alam bebas.
Khayalanku tentang malam bermula ketika aku sempat membuat lobang pada salah satu dinding sebuah gubuk kecil di sebuah kebun. Gubuk kecil itu dihuni wanita tanpa ekspresi. Wanita yang terus-menerus dilanda derita. Hidupnya tak pernah dimaui oleh manusia lainnya. Hari-harinya sepi tanpa ada teman satu pun. Hingga suatu saat dia menemukan aku. Dia suka bercakap-cakap denganku. Mungkin dia menganggapku teman.
Sekarang, ketika aku telah benar-benar berhasil menikmati malam justru aku sulit mendapat teman, hingga aku dapat merasakan bagaimana pedihnya perasaan wanita tanpa ekspresi itu ketika dia tidak diterima lingkungannya. Sampai dia harus dipasung dalam ruang sempit yang  kian reyot. Di sana dulu, setidaknya aku bisa menemaninya meski aku tak pernah paham dengan apa yang dia katakan. Justru itulah pengalamanku yang menyenangkan.
Sampailah pada malam ini setelah bumi diguyur hujan yang begitu lama dan deras. Ketika seluruh tubuh wanita tanpa ekspresi itu basah kuyup. Sebuah tanda perpisahan telah ditunjukkan. Maka tiba-tiba wanita itu menangis. Dan benar adanya, bagiku malam ini akan jadi akhir dari segala-galanya. Malam yang menjadikanku menemukan kebebasan semu. Mungkin ini tulisan takdirku jika aku adalah makluk hidup dengan siklus hidup singkat. Seiring wanita tanpa ekspresi itu tertidur di kedamaiannya dan tidak bangun-bangun, aku keluar dari persembunyian indahku. Berkeliling mengenali lingkungan baru. Sejenak merasa senang tetapi tiba-tiba muncul kebencianku terhadap malam yang telah merayuku hingga aku akan terjerumus ke dalam kehampaan hidup.
Dan baru saja aku berkenalan dengan seorang waria bernama Har yang dulunya sering mangkal di sebuah gang dekat jembatan, katanya dulu dia juga sangat membenci malam.  Dia mengatakan  malam datang sama dengan malang. Dan kini, walaupun keinginan Har untuk menjadikan malam berubah siang tak terkabul, tetapi Tuhan telah menjadikan malam-malam berikutnya jadi lebih berarti buat dirinya. Hal itu terjadi sejak dia merawat titipan anak dari salah satu langganannya yang sekarat ditembak aparat.
Tetapi bagiku, aku hanya akan mampu melewati satu malam saja, atau bahkan tidak sampai genap satu malam. Dan malam itu adalah malam ini. Adakah kini orang yang simpati padaku? Berulang kali kucoba temui orang-orang lagi tetapi belum ada yang mau menerimaku. Yang bisa kukerjakan malam ini hanya mondar-mandir di taman kota yang terdapat banyak lampu warna-warni atau sekedar bermain-main di bawah mercury perempatan jalan. Paling tidak di sana orang-orang tidak dapat menggangguku seenaknya. Mereka tidak bisa begitu saja mematikan lampu di taman maupun mercury di jalan. Kenyamananku baru  akan bisa terganggu kalau ada sebuah mobil lewat.
Untuk sementara aku sangat girang bisa terbang melayang kesana-kemari, meluncur dan menukik. Tiba-tiba di kejauhan ada sebuah lampu neon yang bersinar begitu terang.  Bagiku, neon yang terang akan terlihat indah. Mungkin karena neon terang bisa membuat hidupku serasa lebih panjang. Namun, celaka, aku tidak menyadari ada perangkap di situ. Sebuah ember besar berisi air sengaja ditaruh oleh seorang penjual makanan burung persisi di bawah lampu neon yang luar biasa terang itu.
Aku bisa lolos menjauh, tapi sayapku tidak kuat lagi untuk terbang lama-lama. Kedua sayapku sangat lemah. Tak tahu kenapa badanku mulai limbung. Aku tak kuat lagi menguasai diriku karena salah satu sayapku telah patah. Badanku berputar-putar menghujam ke bawah. Aku jatuh di lantai berwarna putih. Sekilas aku menangkap dua bayangan mahkluk aneh merayap di dinding. Sedetik kemudian mereka telah ada di depan mataku. Siap berlomba  siapa yang lebih dulu melahap diriku. [ ]


Biodata:
Yuditeha, aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten, Karanganyar Jawa Tengah.




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter