Malam tiba.
Aku merasa kehadiranku tak diharapkan. Setiap
berjumpa dengan orang, mereka seperti ingin menghindar. Dan jika kebetulan
berpapasan dengan orang di jalan, kontan mereka seperti mendadak ada yang
terasa gatal ditubuhnya.
Sebenarnya aku tidak ingin ada di sini, tapi
saat ini memang sudah waktunya aku harus di sini. Tidak bisa tidak, aku harus
pergi dari rumah karena rumah itu sudah bukan milikku lagi. Katakanlah dulu aku
hanya meminjamnya. Kini aku harus benar-benar pergi. Begitu aku pergi, aku
bingung harus ke mana? Lalu aku mencoba mencari tempat yang sekiranya bisa
kujadikan berlidung. Paling tidak aku bisa menunda waktu saat maut akan
menjemputku. Tapi di manakah tempat itu?
Aku akan mendatangi setiap rumah dan memohon
kepada si empunya agar aku diperkenankan untuk tinggal bersama mereka. Siapa
tahu ada yang mau menerimaku dengan ikhlas. Yang harus kulakukan adalah sikap
rendah hati dan tetap tabah bila nanti aku mendapati penolakan. Apa mungkin
memang sudah harga yang pantas buat diriku bila nanti diperlakukan seperti itu?
Hingga sikap mereka saat bertemu denganku sebagian besar menunjukkan
ketidaksukaannya padaku. Itulah yang menbuat aku harus super ekstra besar
mengumpulkan keberanian untuk melakukannya.
Pertama aku menuju sebuah toko
kelontong. Begitu aku permisi ingin
masuk bahkan belum sampai bertemu dengan tuan rumah, lampu depan dan lampu
dalam toko buru-buru dimatikan. Aku tidak tahu mengapa dia begitu membenciku.
Untuk sebuah percakapan saja tak pernah mereka lakukan. Aku tidak putus asa. Kudatangi sebuah rumah yang cukup megah. Aku
melihat di balik jendela kaca depan. Tak lama kemudian gorden dari balik nako
disingkap oleh pria paruh baya. Dia mengenakan piyama yang kancing bajunya tak
terkunci hingga terlihat jelas perut buncitnya. Begitu dia melihatku, tanpa berkata-kata dia
kembali menutup gorden dan berlalu begitu saja. Aku mengumpat lirih, dasar
orang kaya pelit. Anti sosial. Tak berselang lama, lagi-lagi lampu teras rumah
megah itu mati. Ke mana lagi aku memohon?
Malam itu, saat aku jatuh dalam harapan
kosong, tidak sengaja mendapati sepasang kekasih sedang bercinta di serambi
rumah. Aku nekat menemui mereka. Rupanya kedatanganku dari jauh sudah mereka
ketahui. Sepasang kekasih yang sedang berciuman itu buru-buru melepaskan
ciumannya lalu berdiri bergandengan tangan masuk rumah dan yang nyata-nyata
kuhadapi adalah matinya lampu teras.
Kalau boleh memilih sebenarnya aku lebih suka
kehidupanku dulu, karena di sana aku bisa saling gotong royong antar teman
dalam segala hal. Mendirikan rumah,
mencari rejeki atau melakukan perlindungan dari bahaya yang sekiranya tiba-tiba
muncul. Memang dulu aku suka membayangkan alangkah menyenangkan bisa menikmati
sebuah malam di alam bebas.
Khayalanku tentang malam bermula ketika aku
sempat membuat lobang pada salah satu dinding sebuah gubuk kecil di sebuah
kebun. Gubuk kecil itu dihuni wanita tanpa ekspresi. Wanita yang
terus-menerus dilanda derita. Hidupnya tak pernah dimaui oleh manusia lainnya.
Hari-harinya sepi tanpa ada teman satu pun. Hingga suatu saat dia menemukan
aku. Dia suka bercakap-cakap denganku. Mungkin dia menganggapku teman.
Sekarang, ketika aku telah benar-benar
berhasil menikmati malam justru aku sulit mendapat teman, hingga aku dapat
merasakan bagaimana pedihnya perasaan wanita tanpa ekspresi itu ketika dia
tidak diterima lingkungannya. Sampai dia harus dipasung dalam ruang sempit
yang kian reyot. Di sana dulu,
setidaknya aku bisa menemaninya meski aku tak pernah paham dengan apa yang dia
katakan. Justru itulah pengalamanku yang menyenangkan.
Sampailah pada malam ini setelah bumi diguyur
hujan yang begitu lama dan deras. Ketika seluruh tubuh wanita tanpa ekspresi
itu basah kuyup. Sebuah tanda perpisahan telah ditunjukkan. Maka tiba-tiba wanita
itu menangis. Dan benar adanya, bagiku malam ini akan jadi akhir dari
segala-galanya. Malam yang menjadikanku menemukan kebebasan semu. Mungkin ini
tulisan takdirku jika aku adalah makluk hidup dengan siklus hidup singkat.
Seiring wanita tanpa ekspresi itu tertidur di kedamaiannya dan tidak
bangun-bangun, aku keluar dari persembunyian indahku. Berkeliling mengenali
lingkungan baru. Sejenak merasa senang tetapi tiba-tiba muncul kebencianku
terhadap malam yang telah merayuku hingga aku akan terjerumus ke dalam
kehampaan hidup.
Dan baru saja aku berkenalan dengan seorang
waria bernama Har yang dulunya sering mangkal di sebuah gang dekat jembatan,
katanya dulu dia juga sangat membenci malam.
Dia mengatakan malam datang sama
dengan malang. Dan kini, walaupun keinginan Har untuk menjadikan malam berubah
siang tak terkabul, tetapi Tuhan telah menjadikan malam-malam berikutnya jadi
lebih berarti buat dirinya. Hal itu terjadi sejak dia merawat titipan anak dari
salah satu langganannya yang sekarat ditembak aparat.
Tetapi bagiku, aku hanya akan mampu melewati
satu malam saja, atau bahkan tidak sampai genap satu malam. Dan malam itu
adalah malam ini. Adakah kini orang yang simpati padaku? Berulang kali kucoba
temui orang-orang lagi tetapi belum ada yang mau menerimaku. Yang bisa
kukerjakan malam ini hanya mondar-mandir di taman kota yang terdapat banyak
lampu warna-warni atau sekedar bermain-main di bawah mercury perempatan jalan. Paling tidak di sana orang-orang tidak dapat menggangguku
seenaknya. Mereka tidak bisa begitu saja mematikan lampu di taman maupun
mercury di jalan. Kenyamananku baru akan
bisa terganggu kalau ada sebuah mobil lewat.
Untuk sementara aku sangat girang bisa
terbang melayang kesana-kemari, meluncur dan menukik. Tiba-tiba di kejauhan ada
sebuah lampu neon yang bersinar begitu terang.
Bagiku, neon yang terang akan terlihat indah. Mungkin karena neon terang
bisa membuat hidupku serasa lebih panjang. Namun, celaka, aku tidak menyadari
ada perangkap di situ. Sebuah ember besar berisi air sengaja ditaruh oleh
seorang penjual makanan burung persisi di bawah lampu neon yang luar biasa
terang itu.
Aku bisa lolos menjauh, tapi sayapku tidak
kuat lagi untuk terbang lama-lama. Kedua sayapku sangat lemah. Tak tahu kenapa
badanku mulai limbung. Aku tak kuat lagi menguasai diriku karena salah satu
sayapku telah patah. Badanku berputar-putar menghujam ke bawah. Aku jatuh di
lantai berwarna putih. Sekilas aku menangkap dua bayangan mahkluk aneh merayap
di dinding. Sedetik kemudian mereka telah ada di depan mataku. Siap berlomba siapa yang
lebih dulu melahap diriku. [ ]
Biodata:
Yuditeha, aktif di Komunitas Sastra
Alit Surakarta. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten, Karanganyar Jawa Tengah.