Entah berapa pasang mata yang telah menyaksikan
perempuan aneh dengan rambut yang terurai berai, di perempatan jantung kotaku—perempatan
yang dipakai sebagai titik nol kilometer. Setiap kali melangkahkan kakinya, perempuan itu selalu mengundang perhatian. Di setiap
perkataannya yang ceplas ceplos, selalu menimbulkan pertanyaan di benak orang.
Sudah berapa ratus kali aku melewati
perempatan yang di salah satu ruas
jalannya terdapat perempuan aneh itu. Setiap aku lewat, selalu saja kusaksikan
gerak-geriknya bersama kacamataku. Dulu aku mengira ia adalah seorang pengamen
jalanan. Namun persepsi itu berubah setelah aku tahu bahwa ia sering berbicara
sendiri, kusimpulkan bahwa ia adalah perempuan gila.
Pernah suatu ketika aku lewat sana. Ia
sedang asyik berteriak-teriak. Lalu tiba-tiba berubah menjadi tertawa. Sambil
berjalan-jalan di sela-sela kendaraan yang menunggu lampu hijau. Wajahnya
kemudian datang kepada seorang gadis—kutaksir gadis yang didatangi perempuan
itu berumur sekitar dua puluhan. Ia bisikan beberapa kalimat dari mulutnya yang
mulai kering tersengat matahari. Kebetulan aku mendengarnya, karena jarakku yang
begitu dekat.
“Kau adalah perempuan. Wajahmu cantik. Di
setiap langkahmu selalu diikuti bahaya, apalagi kalau kau tidak bisa menjaga
perilakumu…. Jangan suka berkeliaran sendiri tanpa seorang teman. Jangan suka
berkeliaran di tempat sepi bersama lelaki…. Mengertiiii!!!!”
Gadis yang dibisiki menjadi takut karena
rupa perempuan aneh itu berubah menjadi menakutkan. Aku membayangkannya seperti
monster dalam adegan film-film yang siap menerjang mangsanya. Ketakutan sang
gadis sedikit reda ketika mendadak bibir si perempuan aneh menjelma menjadi
senyuman. Perempuan aneh itu berjalan ke pembatas jalan saat lampu hijau sudah
menyala. Aku pun menjadi heran, perempuan aneh itu seperti tahu apa arti lampu
hijau.
***
Melewati perempatan jalan yang disinggahi
perempuan aneh sudah menjadi rutinitasku. Hanya lewat perempatan itu, aku bisa
sampai ke tempat kerja. Lambat laun rasa penasaran terhadap perempuan aneh yang
sering kulihat muncul di benakku. Mungkin karena aku sering lewat sana, selalu
memperhatikan setiap gerak-geriknya saat aku menunggu lampu hijau menyala,
sehingga rasa penasaranku muncul.
Pulang kerja, senja tampak menggantung di
langit, aku mendapat inisiatif untuk mampir di angkringan dekat perempatan itu.
Aku memesan kopi untuk sekedar menghangatkan tubuh. Sambil asyik menyeruput
kopi, aku mengobrol-obrol dengan pemilik angkringan. Baru hitungan menit kami
mengobrol, kami sudah terlihat akrab.
Aku pada suatu kesempatan menanyakan
perihal perempuan aneh itu.
“Dia itu gila, Mas,” kata si pemilik
angkringan.
“Dulunya kena apa, Pak? Dia selalu
berkata aneh, Pak. Sering pula ia membisikan kata-kata seperti sebuah nasehat
kepada setiap perempuan muda,” ujarku tak sabar segera ingin segera
mendengarkan penjelasan tentang perempuan aneh yang sedang dibahas.
“Dulu dia diperkosa oleh seorang lelaki.
Waktunya saat purnama, hampir tengah malam. Kebetulan saya ini, salah satu
orang dari beberapa orang yang
memergokinya. Kami langsung meringkus. Sementara perempuan itu menangis menjadi-jadi.
Saya menyuruh istri saya untuk mengantarkan pulang. Ternyata tempat tinggalnya
tidak jauh dari sini,” katanya panjang lebar.
“Lalu kenapa dia sering berkata aneh?”
“Maksud Mas yang seperti sebuah nasehat
tadi?”
“Ya, benar.”
“Sejak itu Sri, nama perempuan aneh itu
sangat membenci dengan semua lelaki. Rasa bencinya ia sampaikan lewat perkataannya.
Sri seperti itu karena tidak ingin perempuan-perempuan mengalami musibah
seperti dirinya. Maka tidak heran jika ia menasehati setiap perempuan yang
lewat perempatan ini.” Aku hanya mengangguk-angguk paham mendengar perkataan pemilik
angkringan.
“Dia sampai diberitakan di beberapa koran
lokal. Dan menjadi trending topik masyarakat yang membacanya. Aneh bukan? Orang
gila diberitakan dan langsung menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat,”
tambahnya sedikit tertawa. Aku pun tersenyum.
Gelas yang di depanku kusruput kembali. Setelah
isinya habis, aku membayarnya dan pulang.
***
Keesokan harinya aku berangkat kerja
seperti biasanya. Tidak terburu-buru. Menikmati di setiap perjalanan. Hingga
tiba di perempatan itu kembali. Suasana masih begitu sepi. Aku hanya ditemani
lima motor dan satu mobil yang ada di kanan kiriku.
Perempuan aneh itu tidak menampakan diri.
Aku dikejutkan dengan seorang perempuan
yang berlari di pinggir trotoar. Seorang lelaki mengejarnya. Kulihat sekilas
lelaki itu penuh nafsu.
Aku benar-benar terkejut kembali. Si
perempuan aneh muncul dan terlihat berlari.
Berusaha mengikuti perempuan dan lelaki yang saling berkejaran. Wajahnya
begitu marah. Ada apa gerangannya dengan ketiga orang itu?
Aku pun memutar balik motor. Aku tertarik
untuk mengikuti ketiga orang tadi. Berlari bersama motorku, sempat kehilangan
jejak, akhirnya aku menemukan mereka.
Tapi… Aku hanya menemukan perempuan aneh sedang
tertawa keras dan lelaki yang sudah terbujur di tanah, dengan punggung
bersimbah darah dengan pisau yang masih menancap. Perempuan aneh itu tampak
puas.
“Aku telah berhasil menyelematkan kesucian
perempuan,” teriak perempuan aneh itu.
Aku hanya memandangnya dan menelan ludah.
Sekilas wajah perempuan yang dikejar lelaki yang kini terkulai terlintas di
anganku. Aku menduga perempuan itu berusaha diperkosa si lekaki, dan perempuan
aneh itu menyelamatkannya. [ ]
Bantul,
17 November 2016
BIODATA:
Risen
Dhawuh Abdullah sedang
menuntut ilmu di SMA N 2 Banguntapan. Pelajar yang suka membaca dan menulis
cerpen Pernah berguru menulis cerpen kepada penyair Jogja, Evi Idawati. Lahir di Sleman pada 29 September 1998.
Tinggal di Bantul Yogyakarta. Facebook : Risen Dhawuh Abdullah