Saya ingin mengawali
esai di awal tahun ini dengan mengucapkan ‘Selamat Tahun Baru 2017’. Merayakan
atau pun tidak, suka atau pun tidak, saya yakin, siapa pun Anda pasti menerima
kehadiran tanggal 1 Januari ini sebagai awal tahun. Dan ucapan selamat ini, yang
mungkin banyak diterima dari mana pun, adalah sebuah doa bagi Anda, bagi kita
sebagai manusia dalam menghadapi hari-hari yang bakal dijalani setahun ke
depan.
Tradisi mengucapkan
selamat ini juga bagian dari budaya keseharian masyarakat kita. Ada perasaan
senang, bangga, dan bersyukur atas keberhasilan, kesuksesan, atau kebahagiaan
yang didapatkan orang atau pihak lain. Dalam konteks bahasa, ‘selamat’ dimaknai
sebagai doa yang mengandung harapan supaya sejahtera; atau pemberian salam
mudah-mudahan dalam keadaan baik. Jadi, berbahagialah bila mendapat ucapan
selamat, termasuk menghadapi tahun baru semacam ini.
Selain dalam bentuk
ucapan, ‘selamat’ juga bisa berwujud perayaan. Masyarakat sering menyebutnya
sebagai ‘selamatan’ atau kegiatan untuk meminta selamat. Dalam selamatan inilah
wujud kegembiraan menyambut Tahun Baru lebih terasa. Ada yang selamatan dengan
pesta dan kemeriahannya dari konvoi di jalan, meniup terompet dan menyalakan
kembang api, dan putar musik. Ada pula yang doa dan zikir bersama. Namun,
semuanya diakhiri dengan makan bersama.
Masyarakat kita
adalah masyarakat yang gampang gembira walau beberapa saat sebelumnya baru
berduka. Paling tidak, dia dapat menutup sejenak kesedihannya dengan segaris
senyum getir. Tentu, jangan ditanya apa yang ada di kepala mereka. Menurut
psikolog, menggembirakan hati adalah cara untuk melupakan kesedihan. Caranya,
bisa dengan menciptakan kegembiraan sendiri, atau menyaksikan kegembiraan orang
lain. Suasana tahun baru semacam ini bisa dijadikan alasan untuk ikut
bergembira.
Tak bisa dipungkiri,
365 hari sepanjang Tahun 2016 yang baru beberapa jam kita lewati menyimpan
terlalu banyak catatan. Lebih-lebih bagi Indonesia tercinta ini. Dari sengkarut
politik, korupsi, dan kriminal yang seakan tak ada habis-habisnya. sampai
kepada persoalan sensitivitas keagamaan yang menjurus kepada terbukanya celah
intoleransi antaragama. Belum lagi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan
kurangnya lapangan kerja seakan menjadi bab tetap di setiap buku tahunan negeri
ini.
Yang paling
mengerikan sepanjang tahun Monyet 2016 lalu adalah pemanfaatan media sosial
sebagai medan peperangan yang baru. Melalui facebook, twitter, instagram, dan
situs situs daring lainnya setiap orang bisa memiliki senjata dan bebas
mengarahkan tembakannya kemana pun. Kata-kata, gambar, bahkan lambang emotion
bisa menjadi peluru yang mahadahsyat untuk melumpuhkan siapa pun. Sebagian
masyarakatsudah takbisa lagi membedakan mana informasi fakta, palsu, bahkan
fitnah di media sosial.
Lantas bagaimana
Kalimantan Selatan sepanjang Tahun 2016? Secara kasatmata, Banua terbilang
tenang-tenang saja. Meminjam istilah kepolisian, Kalsel aman dan terkendali.
Masyarakat Banjar terbiasa asyik dengan pekerjaannya sehari hari sehingga
hal-hal yang ‘kada jadi baras’ tak begitu dipedulikan dan dibesar-besarkan.
Bahkan, krisis listrik yang masih terus berlangsung sudah dianggap makanan
sehari-hari dan takpernah rusuh menagih janji pemimpin baru daerahnya yang
pernah janji akan mengatasinya. Padahal padamnya listrik yang sakahandak PLN
ini sudah termasuk teroris!
Tahun 2016 ini juga
masih menjadi tahun penuh musibah. Berbagai tempat mengalami kapal tenggelam,
pesawat jatuh, banjir, gunung meletus, dan gempa bumi. Gempa 6,5 skala richter
di Pidie Jaya, Aceh, 7 Desember lalu adalah catatan kedukaan paling menyedihkan
dan paling membekas bagi siapa pun yang mengalaminya. Apalagi jika sanak
keluarga tercinta menjadi korban. Dan entah kapan bisa sembuh. Jika mereka
senyum menghadapi tahun baru 2017 ini, itulah cara sederhana untuk melupakan
kesedihan itu sejenak.
Di pekan pekan
terakhir tutup tahun, kita ternyata masih bisa tersenyum. Lewat tangan sejumlah
sopir bus dan orang-orang sepanjang jalan, Tuhan menghadirkan bunyi klakson
yang sangat menghibur : “telotet”! Melalui jargon ‘om telolet om’, bukan hanya
Indonesia, bahkan negara-negara lain pun ikut menikmati riuhnya “telolet”. Jika
ini hanya fenomena , tak apalah. Toh kita masih bisa tertawa dan selamat!
Seperti tulisan ‘telolet’ yang dibolak-balik tetap ‘telolet’, hidup kita
sesungguhnya tetap berputar dari tahun ke tahun. [ ]