Gelas
berbibir sumbing kuletakkan di atas meja pendek dekat tempat tidur, masih sisa
separuh teh yang mendingin yang kubuat sejak pagi. Sudah hampir dua jam aku
membolak-balikkan tumpukan novel yang kudapatkan dari kolong tempat tidur, berharap
dapat menghilangkan kebosanan di akhir pekan dari setiap halaman yang terus
kuloncati sekenanya.
“Gadisku
....” Kubaca sekilas kalimat yang tertulis di amplop surat berwarna putih pudar
yang terselip di tengah-tengah halaman sebuah novel.
Keningku
berkerut, mencoba membuka ingatan yang bertumpukan di dalam kepala. Huruf-huruf
yang terangkai rapi di selembar kertas ini bukanlah tulisanku. Aku hanya
mengingat novel ini adalah pemberian dari seseorang yang tinggal di pesisir pantai. Ah,
barangkali aku lupa saat seseorang itu
mengirimkan novel ini, ternyata juga mengirim surat yang diselipkan di
dalamnya.
Aku
masih mengingat jelas. Tiga bulan lalu, tukang pos datang ke rumah. Saat itu
aku masih duduk melamun, membayangkan kau datang ke rumah meminta persetujuan
orang tua untuk meminangku. Entah, itu hanyalah khayalan yang sering
kauceritakan padaku meski sebenarnya aku merasa tak yakin kita akan menjadi
sepasang.
“Selamat
siang! Ada paket datang.” Sapa Pak Pos berseragam orange mendekatiku yang sedang duduk di beranda, sontak aku
tergagap dan beranjak berdiri.
“Terima
kasih, Pak.” Kataku selepas menandatangani tanda terima dan Pak Pos itu berlalu
pergi.
Di
dalam kepalaku dijejali rasa penasaran dengan paket yang datang, saat itu aku mengingat
sedang tak memenangkan kuis ataupun lomba. Karena dihinggapi rasa penasaran
segera saja kubuka paketan itu, ternyata....
Selembar
kertas tebal berwarna ungu muda, cantik sekali desainnya dan juga sebuah novel berjudul
Ajari Aku Melupakanmu. Lalu mataku
beralih kearah kertas tebal itu dan membaca sampul depannya, yang ternyata adalah sebuah undangan
pernikahan “walimatul urusy Ahmad & Siti,”
Surat
itu terjatuh tak sengaja di lantai berlapis karpet hijau usang, dadaku bergemuruh
kencang, denyut jantungku seperti memompa lebih cepat dari biasanya. Rasanya
seperti mendapatkan sebuah kejutan yang paling mematikan.
***
Surat
untuk Gadisku
Gadisku yang selalu ceria,
Ada gemuruh di rongga dada saat aku
mengingat wajahmu. Ah, aku masih teringat saat kau nampak kesal, bibirmu manyun
beberapa senti saat kukatakan kalau kau adalah perempuan paling cantik yang
pernah kukenal. Saat itu kau kesal bukan karena rayuanku tetapi karena aku
mengatakan kaucantik—kata yang kaubenci karena kau tak ingin dibilang cantik.
Bagaimana kabarmu, gadisku? Saat
mengingat wajahmu, saat itu pula perasaan bersalah terus bermunculan. Aku tahu
hal paling fatal dari diriku bahwa kesetiaan yang kerap kujanjikan akan ternoda
di pikiranmu dan rasanya aku ingin bersembunyi dari kenyataan ini. Kenyataan
kalau aku sudah bertunangan dan akan menikah beberapa hari lagi.
Gadisku yang baik.
Ada rindu yang tersimpan rapi di
palung hati dan akan tetap kusimpan sampai suatu hari nanti aku bisa melepas
rasa bersalah ini pergi, sampai aku benar-benar mengikhlaskan butir-butir rindu
yang pernah kita rangkai setiap dini
hari ini tenggelam di laut terdalam. Meski aku akan berdosa mengorbankan
perasaan calon istri yang tak pernah kukenal sebelumnya.
Gadisku, berulangkali sudah
kuceritakan kepadamu tentang tradisi di kampungku dan kau pun tahu hal itu.
Bahkan aku kerap memintamu untuk kita lekas menjadi sepasang, agar tak ada lagi
yang menjadi penghalang dari segenap keraguan.
“Tradisi di tanah lahirku bukan
seperti itu dan aku belum siap menjalaninya untuk saat ini,” itu jawabanmu saat
aku memintamu untuk bertunangan. Ya, di kampungku tradisi bertunangan memang
hal lumrah dan menjadi hal wajib sebelum menikah, bahkan anak-anak yang masih
berusia lima belas tahun ke bawah sudah banyak yang memiliki tunangan. Meski
usiamu sudah berkepala dua, entah kenapa kau masih enggan untuk hidup berdua
denganku.
Setiap dini hari, kita selalu
merayakan kehadiran sunyi yang datang. Mengeja puisi-puisi cinta yang
menjadikanmu perempuan paling bermakna. Dan kini dini hari adalah waktu paling
sakral untuk mengingatmu, kenangan terus bermunculan membuatku merasakan
kehadiranmu di sini, di sisiku.
Gadisku.
Ayahku memintaku untuk bertunangan
dengan seorang perempuan kampung yang rumahnya hanya berjarak satu km dari
rumahku. Ingin rasanya memberontak dan tak menyetujui, namun firasatku sebagai
anak seolah mengatakan ini permintaan terakhir di usianya yang sudah sepuh. Kau
tentu tak tahu bagaimana posisiku saat ini, rasanya aku ingin berlari memelukmu
meski kita disekat puluhan kota dan lautan yang menjadi tirai pemisah. Aku akan
mengatakan segenap hatiku hanya untukmu, gadisku.
Perempuan di kampung ini adalah
perempuan-perempuan taat akan tradisi yang sudah ada, bahkan rela mengorbankan
masa kanak-kanaknya untuk menikah karena ada sikap beberapa orang tua yang terburu-buru
ingin melepas beban. Ah, perempuan di sini selalu takzim merawat kesetiaannya
mungkin hal itulah yang menyebabkan ayah memintaku bertunangan dengan gadis
dari kampung ini, bukan denganmu yang jelas-jelas kutahu bahwa benih-benih
kesetiaan itu tumbuh pada setiap rongga dada perempuan.
Kau pernah berkunjung sebentar di
kampungku dan kau tentu juga tahu kepribadian keluargaku, bukan! Ayahku seorang
tokoh agama yang sangat dihormati di kampung pesisir ini dan secara tidak
langsung pun aku akan menggantikan posisinya kelak karena aku satu-satunya anak
lelaki yang diharapkan bisa menjadi penerusnya berdakwah di kampung ini.
Gadisku yang baik.
Kutulis surat ini bukan untuk
membuatmu semakin terluka, tidak juga untuk meminta belas kasihanmu. Kubiarkan
kau membenciku karena memang ini murni kesalahanku, tapi jangan kaupaksa aku
untuk berhenti merindukanmu karena sesungguhnya aku belajar dewasa lebih dini
dengan mencintaimu. Sedang untuk calon istriku, dialah yang merasakan hasilku
belajar darimu. Kau adalah kekasihku dan calon istriku adalah pendamping
hidupku.
Aku sadar, aku bukanlah lelaki setia
seperti yang pernah kukatakan untuk meyakinkanmu, dulu. Aku adalah lelaki
pengecut yang tak berani mengatakan kepadamu tentang pernikahan ini, hingga
kutahu kau jelas-jelas menunggu kabarku beberapa minggu ini yang tiba-tiba
menghilang.
Surat ini berisikan permintaan maaf
yang setulus-tulusnya dariku dan rasa terima kasih karena kau mau menjadi
bagian dari hidupku. Suatu hari nanti aku akan berkunjung ke rumahmu,
mendatangimu sekaligus memperkenalkan keluarga kecilku yang ada berkat dirimu.
Aku adalah lelaki yang paling beruntung pernah mengenalmu.
Salam rindu, gadisku.
***
Air
mata tak sengaja tumpah, menetes satu persatu di lembaran surat, sebagian
huruf-hurufnya pun menjadi buram. Kuselipkan surat di novel itu kembali, lalu
kuletakkan novelnya di atas meja. Entah kenapa hatiku seperti ditusuk-tusuk jarum,
padahal ini sudah tiga bulan berlalu.
Kurebahkan
tubuhku di atas ranjang, sambil membayangkan kenangan sebelum perpisahan itu
datang. Masa di mana aku menjadi perempuan paling membahagiakan. Aku masih
teringat saat mendatangi kampungmu, kampung yang terletak di pesisir pantai dan
aku merasa diriku telah menjadi bagian dari kampung itu. Ah, rasanya terlalu
sakit untuk mengingat kembali. Mengingat saat ibumu menanyakan hubungan kita,
bahkan memintaku untuk menjadi pendampingmu. Saat itu aku hanya mengatakan
kalau aku masih fokus mencari ilmu.
“Tok-tok!”
Suara
ketukan pintu membuatku sedikit tersentak kaget. Bukan hanya membuyarkan
lamunan, tetapi mendadak jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ah,
padahal biasanya tak seperti ini kalau hanya ada orang yang bertamu.
Aku
beranjak bergegas menemui tamu yang datang, karena hari ini seluruh keluarga sedang
keluar rumah sejak pagi dan akulah yang ditugaskan menjaga rumah.
“Iya,
maaf siapa?” tanyaku ketika seorang lelaki yang kutaksir usianya sebaya
denganku sedang berdiri di muka pintu masih melihat ke arah luar. Ke sekeliling
rumahku. Namun rasanya aku pernah mengenal wajahnya.
“Eh? Maaf apa benar ini rumahnya Mbak Ina?”
tanyanya gugup karena aku sudah berada di dekatnya. Aku hanya mengangguk sambil
mempersilahkan masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
“Ahmad
terus memanggil namamu, bisakah kamu datang ke kampung kami meski sebentar
saja?” kata lelaki itu secara tiba-tiba saat sudah duduk di sofa.
“Maksudnya?”
aku benar-benar tak mengerti kenapa tiba-tiba lelaki ini mengatakan tentang
Ahmad. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dan suratnya baru saja
kubaca tadi.
“Satu
bulan lalu Ahmad sakit hingga sekarang masih terbaring lemah dan dia tak henti
menyebut namamu. Tubuhnya bertambah kurus. Entahlah, sepertinya dia merasa
bersalah padamu karena dia belum meminta maaf padamu secara langsung.” Lelaki
ini menghela napas sejenak, “Kau
pernah melihat film tenggelamnya Kapal Vanderwijk, bukan?”
Lagi-lagi
aku hanya mengangguk. Masih teringat saat kau begitu mengagumi film itu, bahkan
kau kerap menuliskan puisi untuk Hayati, tokoh utama perempuan dalam film itu. Sepertinya
aku mulai menyadari, kisah kita mirip di film hanya saja kau memainkan peran
ganda. Kau yang dinikahkan dan kau pula yang merasakan sakitnya meninggalkan
kekasih yang telah mencintaimu.
“Datanglah!
Anggap saja ini terakhir kali kau menemuinya.”
Deg!
Entahlah, jantungku seperti terhenti tiba-tiba. Dan aku merasakan kekosongan
tiba-tiba menyusup di rongga dadaku, membayangkan ending dari film itu adalah
kematian. Pada situasi ini aku seperti masuk dalam dua dunia. Dan aku tak mau
menyesal di bagian akhir, sebagaimana penyesalan Zainudin.
“Dia
telah menjadi bagian dari Hayati dan Zainudin. Datanglah! Sesungguhnya hanya
kau yang dibutuhkan saat ini.” Ucap lelaki itu yang belum sepenuhnya kutahu
siapa dia dan kenapa dia mengetahui hubunganku dengan Ahmad.
Jika
aku tak pergi, aku tak ingin kisah kita berakhir seperti di film Tenggelamnya
Kapal Vanderwijk. Jika aku pergi menemuimu, entahlah antara siap dan tidak
bertemu denganmu, dengan istrimu yang jelas-jelas merebutmu dariku meski kutahu
perasaannya akan jauh lebih terluka karena kau belum sepenuhnya melupakanku.
***
Biodata:
Alfa Anisa adalah nama pena dari Anisa Alfi Nur Fadilah. Lahir
di Blitar, 28 Maret 1995. Saat
ini menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Balitar, dan
aktif berkegiatan di komunitas sastra hangudi blitar. Beberapa karyanya dimuat
di media lokal dan nasional.