Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 07 Januari 2017

CERPEN ALFA ANISA: SEBUAH LUKA DARI SURAT KEKASIH


Gelas berbibir sumbing kuletakkan di atas meja pendek dekat tempat tidur, masih sisa separuh teh yang mendingin yang kubuat sejak pagi. Sudah hampir dua jam aku membolak-balikkan tumpukan novel yang kudapatkan dari kolong tempat tidur, berharap dapat menghilangkan kebosanan di akhir pekan dari setiap halaman yang terus kuloncati sekenanya.

“Gadisku ....” Kubaca sekilas kalimat yang tertulis di amplop surat berwarna putih pudar yang terselip di tengah-tengah halaman sebuah novel.
Keningku berkerut, mencoba membuka ingatan yang bertumpukan di dalam kepala. Huruf-huruf yang terangkai rapi di selembar kertas ini bukanlah tulisanku. Aku hanya mengingat novel ini adalah pemberian dari seseorang  yang tinggal di pesisir pantai. Ah, barangkali aku lupa saat seseorang  itu mengirimkan novel ini, ternyata juga mengirim surat yang diselipkan di dalamnya.
Aku masih mengingat jelas. Tiga bulan lalu, tukang pos datang ke rumah. Saat itu aku masih duduk melamun, membayangkan kau datang ke rumah meminta persetujuan orang tua untuk meminangku. Entah, itu hanyalah khayalan yang sering kauceritakan padaku meski sebenarnya aku merasa tak yakin kita akan menjadi sepasang.
“Selamat siang! Ada paket datang.” Sapa Pak Pos berseragam orange mendekatiku yang sedang duduk di beranda, sontak aku tergagap dan beranjak berdiri.
“Terima kasih, Pak.” Kataku selepas menandatangani tanda terima dan Pak Pos itu berlalu pergi.
Di dalam kepalaku dijejali rasa penasaran dengan paket yang datang, saat itu aku mengingat sedang tak memenangkan kuis ataupun lomba. Karena dihinggapi rasa penasaran segera saja kubuka paketan itu, ternyata....
Selembar kertas tebal berwarna ungu muda, cantik sekali desainnya dan juga sebuah novel berjudul Ajari Aku Melupakanmu. Lalu mataku beralih kearah kertas tebal itu dan membaca sampul depannya,  yang ternyata adalah sebuah undangan pernikahan “walimatul urusy Ahmad & Siti,”
Surat itu terjatuh tak sengaja di lantai berlapis karpet hijau usang, dadaku bergemuruh kencang, denyut jantungku seperti memompa lebih cepat dari biasanya. Rasanya seperti mendapatkan sebuah kejutan yang paling mematikan.
***
Surat untuk Gadisku
Gadisku yang selalu ceria,
Ada gemuruh di rongga dada saat aku mengingat wajahmu. Ah, aku masih teringat saat kau nampak kesal, bibirmu manyun beberapa senti saat kukatakan kalau kau adalah perempuan paling cantik yang pernah kukenal. Saat itu kau kesal bukan karena rayuanku tetapi karena aku mengatakan kaucantik—kata yang kaubenci karena kau tak ingin dibilang cantik.
Bagaimana kabarmu, gadisku? Saat mengingat wajahmu, saat itu pula perasaan bersalah terus bermunculan. Aku tahu hal paling fatal dari diriku bahwa kesetiaan yang kerap kujanjikan akan ternoda di pikiranmu dan rasanya aku ingin bersembunyi dari kenyataan ini. Kenyataan kalau aku sudah bertunangan dan akan menikah beberapa hari lagi.
Gadisku yang baik.
Ada rindu yang tersimpan rapi di palung hati dan akan tetap kusimpan sampai suatu hari nanti aku bisa melepas rasa bersalah ini pergi, sampai aku benar-benar mengikhlaskan butir-butir rindu yang pernah kita rangkai  setiap dini hari ini tenggelam di laut terdalam. Meski aku akan berdosa mengorbankan perasaan calon istri yang tak pernah kukenal sebelumnya.
Gadisku, berulangkali sudah kuceritakan kepadamu tentang tradisi di kampungku dan kau pun tahu hal itu. Bahkan aku kerap memintamu untuk kita lekas menjadi sepasang, agar tak ada lagi yang menjadi penghalang dari segenap keraguan.
“Tradisi di tanah lahirku bukan seperti itu dan aku belum siap menjalaninya untuk saat ini,” itu jawabanmu saat aku memintamu untuk bertunangan. Ya, di kampungku tradisi bertunangan memang hal lumrah dan menjadi hal wajib sebelum menikah, bahkan anak-anak yang masih berusia lima belas tahun ke bawah sudah banyak yang memiliki tunangan. Meski usiamu sudah berkepala dua, entah kenapa kau masih enggan untuk hidup berdua denganku.
Setiap dini hari, kita selalu merayakan kehadiran sunyi yang datang. Mengeja puisi-puisi cinta yang menjadikanmu perempuan paling bermakna. Dan kini dini hari adalah waktu paling sakral untuk mengingatmu, kenangan terus bermunculan membuatku merasakan kehadiranmu di sini, di sisiku.
Gadisku.
Ayahku memintaku untuk bertunangan dengan seorang perempuan kampung yang rumahnya hanya berjarak satu km dari rumahku. Ingin rasanya memberontak dan tak menyetujui, namun firasatku sebagai anak seolah mengatakan ini permintaan terakhir di usianya yang sudah sepuh. Kau tentu tak tahu bagaimana posisiku saat ini, rasanya aku ingin berlari memelukmu meski kita disekat puluhan kota dan lautan yang menjadi tirai pemisah. Aku akan mengatakan segenap hatiku hanya untukmu, gadisku.
Perempuan di kampung ini adalah perempuan-perempuan taat akan tradisi yang sudah ada, bahkan rela mengorbankan masa kanak-kanaknya untuk menikah karena ada sikap beberapa orang tua yang terburu-buru ingin melepas beban. Ah, perempuan di sini selalu takzim merawat kesetiaannya mungkin hal itulah yang menyebabkan ayah memintaku bertunangan dengan gadis dari kampung ini, bukan denganmu yang jelas-jelas kutahu bahwa benih-benih kesetiaan itu tumbuh pada setiap rongga dada perempuan.
Kau pernah berkunjung sebentar di kampungku dan kau tentu juga tahu kepribadian keluargaku, bukan! Ayahku seorang tokoh agama yang sangat dihormati di kampung pesisir ini dan secara tidak langsung pun aku akan menggantikan posisinya kelak karena aku satu-satunya anak lelaki yang diharapkan bisa menjadi penerusnya berdakwah di kampung ini.
Gadisku yang baik.
Kutulis surat ini bukan untuk membuatmu semakin terluka, tidak juga untuk meminta belas kasihanmu. Kubiarkan kau membenciku karena memang ini murni kesalahanku, tapi jangan kaupaksa aku untuk berhenti merindukanmu karena sesungguhnya aku belajar dewasa lebih dini dengan mencintaimu. Sedang untuk calon istriku, dialah yang merasakan hasilku belajar darimu. Kau adalah kekasihku dan calon istriku adalah pendamping hidupku.
Aku sadar, aku bukanlah lelaki setia seperti yang pernah kukatakan untuk meyakinkanmu, dulu. Aku adalah lelaki pengecut yang tak berani mengatakan kepadamu tentang pernikahan ini, hingga kutahu kau jelas-jelas menunggu kabarku beberapa minggu ini yang tiba-tiba menghilang.
Surat ini berisikan permintaan maaf yang setulus-tulusnya dariku dan rasa terima kasih karena kau mau menjadi bagian dari hidupku. Suatu hari nanti aku akan berkunjung ke rumahmu, mendatangimu sekaligus memperkenalkan keluarga kecilku yang ada berkat dirimu. Aku adalah lelaki yang paling beruntung pernah mengenalmu.
Salam rindu, gadisku.
***
Air mata tak sengaja tumpah, menetes satu persatu di lembaran surat, sebagian huruf-hurufnya pun menjadi buram. Kuselipkan surat di novel itu kembali, lalu kuletakkan novelnya di atas meja. Entah kenapa hatiku seperti ditusuk-tusuk jarum, padahal ini sudah tiga bulan berlalu.
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, sambil membayangkan kenangan sebelum perpisahan itu datang. Masa di mana aku menjadi perempuan paling membahagiakan. Aku masih teringat saat mendatangi kampungmu, kampung yang terletak di pesisir pantai dan aku merasa diriku telah menjadi bagian dari kampung itu. Ah, rasanya terlalu sakit untuk mengingat kembali. Mengingat saat ibumu menanyakan hubungan kita, bahkan memintaku untuk menjadi pendampingmu. Saat itu aku hanya mengatakan kalau aku masih fokus mencari ilmu.
“Tok-tok!”
Suara ketukan pintu membuatku sedikit tersentak kaget. Bukan hanya membuyarkan lamunan, tetapi mendadak jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ah, padahal biasanya tak seperti ini kalau hanya ada orang yang bertamu.
Aku beranjak bergegas menemui tamu yang datang, karena hari ini seluruh keluarga sedang keluar rumah sejak pagi dan akulah yang ditugaskan menjaga rumah.
“Iya, maaf siapa?” tanyaku ketika seorang lelaki yang kutaksir usianya sebaya denganku sedang berdiri di muka pintu masih melihat ke arah luar. Ke sekeliling rumahku. Namun rasanya aku pernah mengenal wajahnya.
“Eh?  Maaf apa benar ini rumahnya Mbak Ina?” tanyanya gugup karena aku sudah berada di dekatnya. Aku hanya mengangguk sambil mempersilahkan masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
“Ahmad terus memanggil namamu, bisakah kamu datang ke kampung kami meski sebentar saja?” kata lelaki itu secara tiba-tiba saat sudah duduk di sofa.
“Maksudnya?” aku benar-benar tak mengerti kenapa tiba-tiba lelaki ini mengatakan tentang Ahmad. Lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidupku, dan suratnya baru saja kubaca tadi.
“Satu bulan lalu Ahmad sakit hingga sekarang masih terbaring lemah dan dia tak henti menyebut namamu. Tubuhnya bertambah kurus. Entahlah, sepertinya dia merasa bersalah padamu karena dia belum meminta maaf padamu secara langsung.” Lelaki ini menghela napas sejenak, “Kau pernah melihat film tenggelamnya Kapal Vanderwijk, bukan?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Masih teringat saat kau begitu mengagumi film itu, bahkan kau kerap menuliskan puisi untuk Hayati, tokoh utama perempuan dalam film itu. Sepertinya aku mulai menyadari, kisah kita mirip di film hanya saja kau memainkan peran ganda. Kau yang dinikahkan dan kau pula yang merasakan sakitnya meninggalkan kekasih yang telah mencintaimu.
“Datanglah! Anggap saja ini terakhir kali kau menemuinya.”
Deg! Entahlah, jantungku seperti terhenti tiba-tiba. Dan aku merasakan kekosongan tiba-tiba menyusup di rongga dadaku, membayangkan ending dari film itu adalah kematian. Pada situasi ini aku seperti masuk dalam dua dunia. Dan aku tak mau menyesal di bagian akhir, sebagaimana penyesalan Zainudin.
“Dia telah menjadi bagian dari Hayati dan Zainudin. Datanglah! Sesungguhnya hanya kau yang dibutuhkan saat ini.” Ucap lelaki itu yang belum sepenuhnya kutahu siapa dia dan kenapa dia mengetahui hubunganku dengan Ahmad.
Jika aku tak pergi, aku tak ingin kisah kita berakhir seperti di film Tenggelamnya Kapal Vanderwijk. Jika aku pergi menemuimu, entahlah antara siap dan tidak bertemu denganmu, dengan istrimu yang jelas-jelas merebutmu dariku meski kutahu perasaannya akan jauh lebih terluka karena kau belum sepenuhnya melupakanku.
***

Biodata:
Alfa Anisa adalah nama pena dari Anisa Alfi Nur Fadilah. Lahir di Blitar, 28 Maret 1995. Saat ini menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Balitar, dan aktif berkegiatan di komunitas sastra hangudi blitar. Beberapa karyanya dimuat di media lokal dan nasional.




Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Statistik Pengunjung

Flag Counter