Harus diakui, Indonesia ini gudangnya orang kreatif. Baik kreatif karena mampu mencipta, maupun mengembangkan. Yang lebih unik, proses kreativitas itu terkadang tidak direncanakan, bahkan tidak pernah terpikirkan bakal menjadi sebuah produk. Dan parahnya lagi, produk taksengaja itu jadi begitu terkenal dan ramai-ramai menjadi viral di media sosial. Contoh kekinian adalah sebutan ‘Fitsa Hats’.
Bermula pada Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Sekjen FPI, saksi kasus
Penistaan Agama oleh tersangka Basuki Tjahaja Purnama, yang mencantumkan kata
‘Fitsa Hat’s’ sebagai sebutan dari Pizza Hut pada riwayat hidupnya. Beberapa
jam pascapersidangan, Selasa (3/1), mencuatlah sebutan itu sebagai isu menarik
awal tahun. Walaupun reaksi yang muncul kebanyakan berupa olok-olokan, tapi
cukup menghibur.
Pizza Hut, merk
sebuah waralaba kuliner asal Amerika ini, kalau dilisankan memang /fitza hats/.
Sama seperti melisankan Kentucky dengan /kentaki/, Dunkin dengan /dankin/, atau
Cocacola dengan /kokakola/. Dan itu berlaku bagi lidah orang dari negara mana
pun, karena pelafalan abjad dalam bahasa Inggris memang demikian.
Namun, penulisan
Pizza Hut tetaplah ‘Pizza Hut’, takbisa diubah menjadi ‘Fitsa Hat’, apalagi
Fitsa Hats’ karens Pizza Hut adalah sebuah nama produk. Tata Bahasa Indonesia
telah mengatur cara penyerapan bahasa Asing ke dalam Bahasa Indonesia. Untuk
kepentingan pengayaan kosakata Bahasa Indonesia dibolehkan untuk menyerap
kosakata asing dari mana pun dengan cara pengubahan apa pun, kecuali untuk
nama.
Ada empat cara yang
digunakan oleh Badan Bahasa dalam menyerap kosakata bahasa Asing dan Daerah.
Dua di antaranya paling sering dipakai dan masih terasa bau asingnya. Pertama,
Adopsi yaitu mengambil seutuhnya kosakata tersebut, baik bentuk maupun ejaannya,
seperti supermarket, plaza, dan motor; dan Kedua, Adaptasi, mengubah beberapa
abjad dari kosakata aslinya untuk disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia
seperti business menjadi bisnis, celluler menjadi seluler, dan essay menjadi
esai.
Kita sering tidak
menyadari bahwa ribuan kosakata yang digunakan selama ini adalah hasil
penyerapan dari bahasa asing. Kosakata bahasa Belanda adalah terbanyak diserap,
yaitu 3.280 kata (berdasar data tahun 1999). Ini terjadi karena Indonesia 3,5
abad dijajah Belanda. Selanjutnya bahasa Inggris, Arab, Cina, Portugis, Tamil,
Parsi, dan Hindi. Kosakata hasil serapan itu mengepung hidup kita dari segala
penjuru untuk seluruh aktivitas. Jadi apalah lagi yang kita sombongkan karena
sudah menikmati ‘bantuan’ asing itu sejak dari bahasa sehari-hari.
Dalam bahasa Banjar
pun ada kosakata bahasa asing yang diadopsi. Misalnya, kata raun dari round
yang berarti ‘’pelesir atau keliling kota’’, setrat dari kata street untuk
menyebut ‘jalan aspal’, gim dari kata game yang menyatakan ‘’permainan
berakhir’, dan banyak lagi. Bahkan, nama Kampung Kuin di Banjarmasin Utara bisa
jadi berasal dari kata queen yang berarti ‘ratu’ sebagai nama tempat Kerajaan
Banjar pertama berdiri. Kerajaan biasa dilambangkan dengan ratu sekali pun
rajanya laki-laki, seperti Keraton di kerajaan Jawa yang berasal dari kata
‘ke-ratu-an’.
Inilah risiko sebagai
bangsa terbuka yang siap menerima ‘masukan’ dan ‘bantuan’ dari pihak mana pun.
Seperti juga bahasa Indonesia yang memosisikan diri demikian sejak bernama bahasa
Melayu hingga dikukuhkan tahun 1928. Peluang inilah yang membuat orang
Indonesia kreatif dalam berbahasa. Tidak heran kita takpernah kehabisan kata
untuk mewakili pikiran dan perasaannya. Maka lahirlah bahasa Prokem, bahasa
Gaul, bahasa Alay, dan sebagainya itu.
Namun demikian,
aturan kebahasaan tetaplah harus dipatuhi karena itulah lagi yang menjaga
ke-Indonesia-an bahasa Indonesia. Kita tidak bisa memaksakan pendapat agar
alasan penulisan sebuah kata yang berupa nama seperti kasus ‘Fitza Hats’ adalah
bagian dari cinta bahasa Indonesia karena takbersesuaian. Terlepas apakah
penulisan itu ide yang bersangkutan atau sipenulis BAP. Dan argumen ini pun
bukanlah sebuah keterangan seorang saksi ahli. [ ]